Anak-anak itu, Allah yang menjaga

Anda tentu pernah dengar cerita Nabi Musa dan Nabi Khidir ‘alaihimassalam di surat Al Kahfi. Anda kemungkinan rutin membacanya tiap pekan. Dalam kisah itu, Allah perintahkan Nabi Musa untuk mengikuti dan mengambil pelajaran dari Nabi Khidir. Di tengah jalan, tiga hal terjadi.

Pertama, keduanya tengah naik perahu, kemudian Nabi Khidir melubangi kapal itu. Ia tenggelam bersama harta benda di dalamnya.

Kedua, mereka bertemu dengan seorang anak, kemudian Nabi Khidir membunuhnya.

Ketiga, keduanya berjalan dan tiba di suatu desa dalam kondisi lelah, lapar, dan haus. Tak ada satu pun penduduk desa itu yang mau menjamu keduanya. Tiba-tiba dijumpai sebuah rumah yang hampir roboh, kemudian Nabi Khidir memperbaiki rumah tersebut. Nabi Musa tentu saja mengikuti.

Tiga kali Nabi Musa “memprotes” tindakan Nabi Khidir di atas, dan karena itu keduanya berpisah. Namun sebelum itu, Nabi Khidir memberi penjelasan.

Pada peristiwa pertama, diketahui bahwa di pelabuhan seberang terdapat raja zhalim yang akan merampas seisi perahu. Untuk mencegah harta itu jatuh ke tangan orang zhalim (yang tentu saja dampaknya bakal jauh lebih merusak), Nabi Khidir menenggelamkan kapal itu.

Pada peristiwa kedua, anak ini ternyata kafir dan durhaka pada kedua orangtuanya yang mukmin. Nabi Khidir khawatir si anak bakal membawa kesusahan dan kekufuran itu pada kedua orangtuanya. Untuk mencegah hal itu terjadi, dibunuhlah anak itu; disertai harapan agar Allah menggantinya dengan anak lain yang lebih suci dan lebih berbakti.

Pada peristiwa ketiga, diketahui bahwa rumah ini miliki dua orang anak yatim. Di bawah rumah tersebut terpendam harta milik keluarga yang kelak berguna bagi dua anak itu. Orangtua keduanya adalah sosok shalih luar biasa. Oleh sebab itu, kedua nabi ini memperbaiki dinding agar rumah tersebut tetap tegak. Sehingga harta tersebut aman sampai kelak digunakan anak-anak itu.

Yang menakjubkan dari cerita ini adalah penegasan bahwa saya boleh jadi menikmati hidup yang nyaman dan tenteram saat ini berkat keshalihan Ibu dan Bapak saya. Bukan karena saya pintar, bukan karena saya shalih. Tapi karena kebaikan Ibu dan Bapak saya yang “memancing” turunnya rahmat Allah pada saya.

Yang lebih menakjubkan lagi: Ibnu Katsir bahkan menyebut bahwa “orangtua” yang dimaksud dalam cerita itu adalah kakek/nenek yang terpisah beberapa generasi di atasnya. Bukan orangtua kandung kedua bocah tadi.

Saya cuma bertanya-tanya, keshalihan macam apa yang mengakibatkan berkahnya bertahan demikian lama, sampai lintas generasi seperti ini?

Tidak cuma menyelamatkan dari kemiskinan, Allah memuliakan kedua anak yatim tersebut dengan pembangunan rumah mereka melalui perantara tidak hanya satu, tapi dua orang Nabi. Dua orang Nabi. Saya membayangkan berkah yang mengalir dari rumah yang dibangun oleh tangan kedua Nabi tersebut; tangan orang-orang yang seumur hidup bekerja untuk menyampaikan risalah Tuhannya. Sebagai pembanding, orang-orang yang membangun rumah kita belum tentu seorang ulama. Belum tentu orang shalih. Bahkan, nuwun sewu, beberapa kali saya temui tidak mendirikan shalat.

Di tengah pelajaran-pelajaran yang diberikan al Quran ini, muncul post zapfinance yang viral pekan lalu ini.

Catatan penting saat membaca unggahan akun financial planner seperti ini adalah bahwa kita tidak tahu berapa baseline dan asumsi inflasi yang mereka gunakan. Daya beli Anda pun kurang lebih sama dari tahun ke tahun (tentu saja kecuali ada guncangan ekonomi dahsyat di Indonesia atau Anda dapat kenaikan penghasilan luar biasa) Terlebih, akun-akun seperti ini memang kadang melebih-lebihkan baseline untuk menakut-nakuti target pasarnya. Harapannya ya agar orang-orang itu jadi klien mereka. Jadi membacanya sambil santai saja.

Khusus untuk post ini, mari sejenak meninggalkan hitung-hitungan “duniawi” tadi. Melalui kisah di atas, Allah sepertinya hendak menyampaikan bahwa makhluk-makhluk-Nya adalah tanggungan-Nya. Rezeki itu Ia berikan kepada yang Ia kehendaki, bahkan jika orang itu mengingkari keberadaan-Nya. Tapi Allah berikan “penjagaan” lebih dari malapetaka bila hamba-Nya bertakwa.

Dan perlu banyak-banyak diingat bahwa rezeki, rahmat, atau penjagaan Allah itu tidak melulu diartikan sebagai “melimpahnya harta”.

Tentu saja kisah di atas, termasuk post ini, tidak untuk menafikan pentingnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sunnatullah, termasuk rezeki, itu bekerja dengan cara-cara yang logis. Ada sebab-akibatnya. Anda hanya akan dapat uang apabila bekerja. Sebagaimana untuk jadi pintar (termasuk dalam ilmu agama), ya Anda harus belajar. Anda bisa baca ulasan terkait hal ini di buku-buku para ulama yang diakui terkait aqidah. Umar bin Khaththab pun pernah mengusir orang yang hanya berdoa minta rezeki di masjid tanpa menyempurnakan sebab-sebab sampainya rezeki tersebut.

Tetapi sepertinya kita perlu lebih khawatir pada keshalihan pribadi ketimbang ukuran-ukuran duniawi itu tadi. Horizon ukuran-ukuran duniawi itu umumnya ya hanya sampai pada diri kita saja atau ditambah dengan anak kandung kita. Tapi berkah dari keshalihan pribadi terus terbawa hingga lintas generasi.

Keshalihan itu menjaga kita (dan keluarga kita) dari malapetaka yang lebih besar; baik yang berupa hilangnya harta maupun hilangnya iman. Dalam kalimat Nabi, “Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu.”

Kekhawatiran dan perhatian kita pada keshalihan pribadi itu semoga memperbaiki diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Sebab kehilangan tanda kebaikan diri adalah salah satu sumber kepayahan terbesar seseorang pada hidupnya.

Berapa banyak orang-orang yang terpuruk, bertengkar hebat, bahkan dirundung kesedihan mendalam, justru karena harta melimpah yang harus mereka kelola.

Betapa banyak anak-anak yang kehilangan adab dan nalar justru ketika mereka dibesarkan di keluarga yang berkecukupan.

Betapa banyak orang yang merenggang hubungan keluarganya hanya karena harta warisan.

Maka ketakutan-ketakutan kita akan kecukupan rezeki sepertinya perlu diimbangi dengan kekhawatiran akan keshalihan pribadi dan keluarga. Sebab bila kita bertakwa, anak-anak kita itu Allah yang akan menjaga.

Selamat hari Jumat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *