Kasus penghinaan atas Nabi dan tindakan balasannya sepertinya masih jauh dari kata usai. Melihat bagaimana reaksi pemerintah Perancis dan negara-negara Eropa lainnya, sedihnya, saya kira kasus ini akan kembali berulang. Argumen negara-negara Eropa tersebut, tentu saja adalah kebebasan berekspresi.
Saya tahu bahwa masalah terbesar dari formalisasi larangan penistaan agama maupun hal-hal sakral lainnya terletak pada batasan-batasannya. Apa saja yang termasuk hal-hal sakral yang tak boleh dinista? Kapan suatu pernyataan dianggap kritik, kapan dianggap menista? Mengingat banyak kelompok masyarakat (termasuk umat Islam) tidak monolitik, apakah bila sedikit saja anggota kelompok masyarakat tersebut tersinggung, ia langsung memenuhi kriteria blasphemy? Ketika kita membatasi apa yang boleh dibicarakan seseorang, bukankah itu berarti pembatasan atas kebebasan berekspresi?
Nyatanya, kebebasan yang kita miliki memang terbatas. Waktu kecil dulu, saya diajari bahwa hak-hak kita dibatasi oleh hak-hak orang lain. Saya yakin Anda juga diajari hal yang sama. Kebebasan untuk mengendarai kendaraan milik kita sendiri, misalnya, dibatasi oleh hak berkendara dengan aman dari sesama pengguna jalan. Jadi hanya karena mesin mobil Anda cukup bagus, bukan berarti Anda bebas kebut-kebutan di jalan raya.
Untuk contoh yang lebih serius: Beberapa negara Eropa melarang Holocaust denial. Apabila Anda meyakini bahwa tidak ada genosida sistematis atas orang-orang Yahudi (dan kelompok minoritas lainnya di Eropa saat itu) yang mengorbankan nyawa jutaan orang dan menyebarkan keyakinan Anda itu, ya Anda akan berhadapan dengan hukum.
Kasus terkenal soal ini tentu saja Roger Garaudy, penulis The Founding Myths of Modern Israel. Ia dihukum sebab menulis bahwa Holocaust dimitoskan oleh propaganda Israel untuk menjustifikasi okupasinya di wilayah Palestina. Kasus lebih baru yang beririsan dengan isu Roger Garaudy adalah diringkusnya sebelas orang Perancis akibat berkampanye untuk tidak membeli produk-produk yang terkait dengan upaya okupasi Israel atas Palestina, sebagaimana disinggung Amnesty International.
Hanya saja, meski sikap negara-negara Eropa konon cukup ketat terkait kebebasan berpendapat, kita bisa dengan cepat mengendus aroma kemunafikan. Sikap ketat ini seringkali hanya berlaku untuk melindungi perasaan pemeluk Kristen/Katolik.
Saba Mahmood sedikit menyinggung ini dalam artikel bertajuk Religious Reason and Secular Affect: An Incommensurable Divide? Dua keputusan ECHR terkait sengketa di Inggris dan Austria ringkasnya mengizinkan dua pemerintah negara tersebut untuk mencekal film produksi Otto-Preminger Institute yang menampilkan sosok Tuhan, Yesus, dan Maria dalam bentuk yang dianggap ofensif bagi orang Katolik. Tapi pemerintah Perancis merasa baik-baik saja mempublikasikan ulang kartun Nabi yang pernah memicu gelombang protes besar-besaran beberapa tahun lalu.
Sementara itu, batasan yang lebih umum diterima orang barangkali larangan menyuarakan ujaran kebencian/hate speech yang menurut Cambridge Dictionary didefinisikan sebagai “pernyataan publik yang berisi kebencian atau mendorong kekerasan pada orang atau kelompok tertentu berdasarkan hal-hal seperti ras, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksual”.
Saya yakin, sampai pada titik tertentu, kita bisa setuju pada batasan-batasan atas kebebasan itu.
Ini karena kebebasan berekspresi kadang bisa membahayakan orang lain. Holocaust denial pada titik tertentu mungkin tak berbahaya, tidak jauh beda dengan konspirasi flat earth. Tapi ia jadi serius bila digunakan untuk menyulut kebencian yang mengakibatkan kekerasan, atau bahkan pembunuhan, pada orang-orang Yahudi. Ujaran kebencian/hate speech secara umum terlarang, termasuk Indonesia, karena bisa mencelakakan orang lain.
Tentu saja ada banyak tarik-menarik, seperti yang diulas Eric Bleich dalam artikel ini. Ia mendeskripsikan perbedaan sikap antara European Court of Human Rights (ECHR) dan US Supreme Court terkait kebebasan berpendapat. Hukum di Eropa, sebagaimana saya singgung di awal, cukup ketat. Sementara di AS, Anda bisa saja membakar salib dan tetap dianggap sebagai bagian dari kebebasan berpendapat Anda (meski tentu saja saya sangat menganjurkan Anda tidak melakukan hal itu hanya karena ia tidak melanggar hukum).
Seperti yang saya tuliskan di awal, masalah terbesar dari meregulasi hate speech adalah mendefinisikan batasan-batasannya. Definisi yang saya kutip di atas hanya satu dari banyak pemahaman orang soal ini. Studi Universitas Duisburg-Essen ini menunjukkan betapa rumitnya memperoleh persepsi yang sama soal hate speech.
Studi tersebut dilakukan dengan memberikan sejumlah twit pada responden. Mereka diminta menilai apakah suatu twit mengandung hate speech, apakah twit itu perlu dilarang oleh Twitter, dan memberikan skor untuk menilai seberapa ofensif twit yang ditanyakan. Mereka selanjutnya diberikan pertanyaan terbuka untuk mendefinisikan hate speech.
Hasilnya? Responden tak sepakat mengenai apa itu hate speech. Apalagi menyepakati apa yang tetap bisa beredar di ruang publik dan apa yang tidak.
Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Saya yakin sikap pragmatis adalah salah satu jalan terbaik dalam hal ini. Saya meyakini bahwa suatu tindakan, selain dinilai dari niatnya, juga perlu diperhatikan dampaknya. Kita bisa saja mencegah seseorang dari melakukan suatu hal dengan intensi mulia kalau kita betul-betul tahu bahwa efeknya justru detrimental. Maka jalan terbaik yang saya maksud adalah solusi untuk tetap bisa menyatakan pendapat sambil hidup berdampingan dengan kelompok masyarakat yang beragam.
Sikap pragmatis yang saya ajukan adalah soal menempatkan prioritas. Apabila harus memilih antara kebebasan berekspresi dan menjaga hidup manusia, tentu kita sepakat harus memilih yang mana.
Sebab apa gunanya bebas berekspresi, kalau ongkosnya adalah pertikaian atau bahkan nyawa sesama manusia?
Sebenarnya ada langkah lain yang lebih “rapi” (meski tetap saja tidak menyelesaikan seluruh masalah): menyatakan secara spesifik tindakan apa saja yang bisa dikategorikan sebagai penistaan, termasuk kasus penodaan agama.
Salah satu PR besar kasus penodaan agama adalah dasar hukum yang mengatur penodaan agama hanya satu pasal yang interpretasinya kelewat luas. Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (“PNPS 1965“) menambahkan ketentuan baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu Pasal 156a yang berbunyi sebagai berikut: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan yang Maha Esa.”
Penjelasan resmi dari Pasal 156a di atas menyatakan: “huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini.”
Kita bisa “belajar” dari Prancis. Negara yang menyatakan diri sebagai kampiun kebebasan berekspresi ini secara khusus bikin peraturan yang melarang penghinaan atas bendera setelah kasus booty-wiping pakai bendera untuk kompetisi foto setempat. Tidak perlu saya sebutkan bagaimana penyelenggara kontes foto segera menurunkan foto itu setelah menerima banyak komplain dibandingkan dengan sikap mereka ketika karikatur Nabi memicu protes yang sama kan?
Maka kalau masalah dari pasal penodaan agama adalah kriteria yang kelewat fleksibel dan bisa ditafsirkan macam-macam oleh siapa saja, yang perlu kita lakukan sekadar memerinci apa saja hal-hal yang sakral, tak terbatas pada agama, sebagai bagian dari kearifan lokal, kemudian mengambil tindakan untuk melindungi hal-hal tersebut.
Tentu saja saran ini terlalu menyederhanakan masalah. Kalau memang akan dirinci begitu, pasti akan ada tarik-menarik. Mana yang sakral dan mana yang tidak. Daftar itu, kalau tidak disusun dengan jujur dan terbuka, juga menjadi preseden negara akan berpihak pada kelompok (agama, ras, golongan, status sosial) yang mana.
Situasi ini memang pelik karena titik sensitif tiap orang beda-beda. Ada orang yang marah kalau negara atau simbol negaranya dihina, seperti orang-orang Prancis itu. Ada yang marah kalau ibunya dihina. Ada yang tersinggung kalau agamanya (beserta Tuhan dan Nabinya) dihina.
Respon marahnya pasti beragam: ada yang mengambil sikap aktif, ada yang pasif. Ada yang marah tapi tidak bertindak apa pun, ada yang menunjukkan ketidaknyamanannya dengan cara terang-terangan.
Perbedaan titik sensitif dan ekspresi kemarahan itu tergantung, antara lain dan tidak terbatas, pada worldview dan kapasitas keilmuan setiap orang.
Respon pemerintah Prancis beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa bendera adalah identitas nasional yang sakral, sementara agama (khususnya Islam) tidak. Tentu akan ada segelintir warga setempat yang berpendapat beda. Demikian juga dengan agama di Indonesia. Islam adalah identitas sakral bagi banyak orang Indonesia, dan akan ada sedikit orang yang berpendapat beda.
Tapi kasus-kasus di Prancis, Austria, dan Inggris menunjukkan bahwa hal-hal sakral bagi mayoritas orang bisa saja diprioritaskan atas kebebasan berekspresi sambil tetap menyebut diri sebagai kampiun demokrasi.