Apa Bank Syariah Harus Murah?

Saya beberapa kali bertemu orang yang bilang bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Di antara argumen yang terselip adalah bahwa margin/cost of fund bank syariah sama mahalnya, atau bahkan lebih mahal ketimbang bank konvensional. Dan oleh sebab itu, mereka bilang bahwa margin bank syariah adalah bunga/riba yang diarab-arabkan saja.

Benarkah begitu? Pertanyaan ini bisa dijawab melalui beberapa uraian berikut.

Daftar Isi

Letak riba adalah pada akad/kontraknya.

Suatu transaksi dinyatakan sebagai riba apabila memenuhi salah satu atau kedua hal berikut. Transaksi tersebut mensyaratkan adanya (1) pengembalian berlebih atas uang yang dipinjamkan/dipertukarkan karena adanya penundaan (riba nasi’ah); atau transaksi tersebut melibatkan (2) pertukaran barang ribawi yang dilakukan tidak dalam takaran yang sama dan tidak dilakukan secara tunai (riba fadhl).

Kalau bicara riba, acuan kita ya hanya ini saja.

Sebelum melanjutkan topik ini lebih jauh, saya ingin mengingatkan bahwa dalam muamalah, kaidahnya adalah “Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, sampai datang dalil atas pengharamannya”.

Hal ini selaras dengan hadits berikut. Kisahnya tentang saran yang Nabi berikan terkait penyerbukan kurma. Karena suatu hal, saran tersebut tak membuahkan hasil sesuai harapan. Ketika ditanya tentang sarannya itu, Nabi menjawab, “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian”.

Oleh sebab itu, ketika bicara soal ekonomi syariah, hal pertama yang kita evaluasi adalah: apakah aktivitas ini adalah aktivitas yang telah dinyatakan secara jelas oleh Allah atau Nabi sebagai aktivitas terlarang? Kalau tidak, berarti halal.

Sebagai pelengkap, di antara rule of thumb transaksi yang halal adalah apabila transaksi tersebut bebas dari riba, maysir/judi, dan gharar.

Hal yang sama kita jumpai ketika kita bicara soal makanan. Hal yang perlu dievaluasi bukan, “Apakah Nabi pernah mencontohkan makan makanan ini?” tetapi “Apakah makanan ini termasuk yang diharamkan?” Kalau tidak, berarti halal. Makanya, al Quran dan hadits Nabi hanya mengatur tentang makanan/minuman yang diharamkan. Yang lainnya halal.

Simpulannya, apabila suatu transaksi tidak dinyatakan sebagai transaksi terlarang, maka seorang muslim bebas untuk memanfaatkan transaksi tersebut demi kepentingan pribadinya.

Tidak ada pembatasan harga dalam Islam

*Syarat dan ketentuan berlaku

Nabi pernah diriwayatkan menolak menetapkan harga suatu komoditas ketika harganya melambung tinggi. Melalui hadits tersebut, Nabi bahkan mengaitkan penetapan harga sebagai suatu kezhaliman. Sebab pada dasarnya, jual beli harus dilakukan atas dasar saling ridha (QS an Nisaa’ 29).

Namun, hadits di atas memang tak bisa dibaca sendirian. Boleh jadi mahalnya suatu komoditas disebabkan kolusi (bai’ najasy), penimbunan, atau bentuk manipulasi lainnya yang memungkinkan terbentuknya informasi asimetris di antara pelaku pasar (sebagaimana tersirat dalam hadits berikut) . Ringkasnya, larangan menetapkan harga bukan berarti Anda bebas menjual suatu barang semahal-mahalnya setelah Anda memanipulasi pasar.

Oleh sebab itu, beberapa ulama yang pernah saya baca bukunya mengambil simpulan bahwa apabila mahalnya suatu harga itu disebabkan oleh hal-hal yang berada di luar kuasa si penjual, kelangkaan misalnya, maka mahalnya harga barang tersebut masih dapat dimaklumi.

Dari kedua argumen tersebut, kita bisa dengan mudah menyatakan bahwa jasa-jasa keuangan yang diselenggarakan bank syariah memang tidak harus murah. Apa yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah tersebut tetap dinyatakan halal (tentu dengan asumsi bahwa operasional bank syariah benar-benar sudah sesuai dengan fatwa DSN MUI maupun dewan pengawas syariahnya masing-masing) sehingga kita bisa dengan tenang memanfaatkan jasa-jasa keuangan yang mereka sediakan.

Alasan kenapa bank syariah tidak bisa memberikan harga bersaing dalam beberapa transaksi insya Allah akan saya jelaskan pada artikel berikutnya.

Syarat Minimal vs Kondisi Ideal

Oya, pernyataan “bank syariah tidak harus murah” perlu dipahami dari sisi formal saja. Ketentuan syariat memang tidak mensyaratkan suatu transaksi berada di harga termurah. Secara sederhana, pembentukan harga adalah hasil dari permintaan dan penawaran saja. Kalau kedua belah pihak secara independen dan secara sadar menyepakati harga yang tidak murah, secara syariat tentu ini baik-baik saja.

Masalahnya kemudian terletak pada peran bank syariah dalam skala yang lebih besar.

Bagaimana peran bank syariah dalam mengembangkan ekonomi umat—dalam rangka menjalani peran khilafah/stewardship yang digariskan dalam al Quran? Apakah bank syariah diperkenankan untuk hanyut dalam arus kapitalisme di mana pemeliharaan dan pengembangan kekayaan pemilik modal adalah satu-satunya fokus perusahaan?

Oleh sebab itu, kita perlu membedakan syarat minimal dengan kondisi ideal suatu bank syariah. Sekedar bebas dari akad/transaksi yang diharamkan adalah syarat minimal. Menjadi penggerak ekonomi umat adalah kondisi ideal.

Tapi di Indonesia, menjumpai bank syariah yang akad dan operasinya benar-benar patuh pada ketentuan syariat saja sudah alhamdulillah. Ini antara lain karena kita menganut dual system, di mana perbankan konvensional dan perbankan syariah bebas beroperasi pada pasar yang sama.

Tentu saya memahami suara sebagian orang-orang yang tidak menoleransi kesalahan bank syariah sedikit pun. Namun perlu kita pahami bahwa perubahan radikal dalam waktu singkat dalam bidang sesensitif ini, bidang keuangan, hanya akan menghancurkan sistem keuangan dan kepercayaan masyarakat pada keuangan syariah.

Pilihan terbaik kita saat ini adalah mendorong perbaikan bank syariah menuju syarat minimal itu tadi, kemudian bersama-sama membangun bank syariah menuju kondisi ideal yang diharapkan bersama.

Artikel terkait:

  1. Mengapa Bank Syariah Lebih Mahal dari Bank Konvensional? (1)
  2. Mengapa Bank Syariah Lebih Mahal dari Bank Konvensional? (2)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *