admin

Sudah Syariahkah Bank Syariah Kita?

Disarikan dari artikel ustadz Adni Kurniawan dengan beberapa penyesuaian

Kalau Anda adalah peminat kajian keuangan syariah, pasti tidak asing dengan anggapan ini: “Bank syariah itu tidak benar-benar syariah.” Saya sendiri sudah beberapa kali menjumpai secara langsung anggapan tersebut.

Benarkah anggapan ini? Bagaimana seharusnya kita bersikap?

Izinkan saya mengajukan suatu usul bersikap.

Saya jawab kurang lebih sebagaimana berikut:

Pertama, kita perlu melihat bahwa syariah yang dimaksud di sini adalah lebih pada konteks hukum fikih. Saya sendiri merupakan seorang yang gemar memperhatikan kajian fikih.

Seorang pembelajar fiqh tentu tidak asing dengan ragam pendapat fiqh, baik pendapat yang cenderung ketat maupun cenderung longgar. Ini berlaku umum untuk fiqh yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalat.

Apalagi, fiqh muamalah ini cukup dinamis setidaknya karena dua sebab. Pertama, bentuk/skema muamalah itu berkembang seiring waktu. Jelas ada kemungkinan suatu transaksi belum dikenal sebelumnya di masa Nabi atau ulama setelahnya. Hal ini membawa kita pada penyebab kedua. Ijtihad atas transaksi-transaksi baru ini tidak bisa sepenuhnya kita rujuk pada Nabi karena transaksinya memang belum ada di masa itu. Tapi di urusan muamalah, yang belum pernah dilakukan di masa Nabi belum tentu haram. Sehingga dalam hal ini sangat terbuka adanya perbedaan pendapat.

Dengan demikian, secara perspektif fiqh, seharusnya wajar-wajar saja apabila seseorang memiliki kecenderungan untuk memilih fikih yang lebih ketat dan konservatif, baik dalam ibadah dan/atau muamalah. Anda boleh saja memilih pendapat fiqh yang lebih ketat dan menyalahkan yang lebih longgar. Begitu juga sebaliknya. Ini wajar saja.

Oleh karena itu, pilihan lebih ketat tersebut bisa jadi berkonsekuensi bahwa pandangan yang lebih longgar itu dianggap belum memenuhi aspek sharia compliance.

Saya akan berikan ilustrasi sederhana dengan sebuah kasus fiqh. Mungkin ini oversimplifikasi tapi membantu pemahaman.

Contoh kasusnya, seseorang menawarkan motornya dengan dua pilihan harga, kalau secara tunai seharga Rp15 juta, dan kalau dicicil selama satu tahun harganya menjadi Rp20 juta.

Bagaimana hukumnya?

Coal mining at an open pit from above.

Mengapa Harga Batubara Masih Tinggi Hari Ini?

Pertanyaan ini biasanya dijawab secara klise. “Batubara adalah industri siklikal. Harganya naik dan turun. Kalau saat ini tinggi, tahun depan bisa jadi turun.”

Iya, penjelasan tersebut benar, tetapi masih belum menjawab pertanyaan “Mengapa harga batubara masih mahal?” atau “Apa yang menyebabkan naiknya harga batubara?” atau “Kapan kira-kira siklus batubara akan berakhir?”

Artikel singkat ini akan mencoba mengulas pertanyaan tersebut. Tapi sebelum menjawabnya, kita coba lihat sekilas industrinya.

Overview dan Outlook Industri

Para pemimpin dunia memang telah menyampaikan komitmen carbon neutral dalam 30-40 tahun ke depan. Sayangnya, kita belum punya cukup sumber daya yang efisien untuk meraih target tersebut lebih cepat. Sumber energi fosil masih merupakan sumber energi paling efisien, dan itulah sebabnya sumber energi ini masih menyuplai sekitar 70% dari total energi yang kita konsumsi hari ini.

Salah satunya adalah batubara. Pada 2020 lalu, total produksi batubara dunia lebih dari 7,7 miliar ton, yang separuhnya diproduksi di Cina saja. Indonesia berada di posisi ketiga, di bawah India, dengan tingkat produksi lebih dari 500 juta ton pertahun.

Iya, jauh banget memang.

Tapi mengingat industri bajanya juga luar biasa besar, kebutuhan impor batubara metalurgi Cina, khususnya jenis kokas, juga sangat besar. Tapi sebagaimana akan saya bahas di bagian berikutnya, beda industri beda jenis batubaranya. Mungkin batubara yang banyak tersedia di Cina adalah batubara termal, sementara stok batubara metalurginya cukup terbatas. Konsekuensinya, mereka harus impor.

Krisis energi yang terjadi beberapa bulan belakangan bahkan membuat beberapa negara maju mengaktifkan kembali PLTU-nya yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Kabar baik bagi industri batubara tanah air, dari sepuluh negara dengan konsumsi batubara terbesar dunia, empat di antaranya berasal dari Asia: Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Kenapa ini kabar baik? Ya sudah tentu karena kebutuhan batubara mereka lebih efisien dipenuhi dari tetangga mereka sendiri sesama negara Asia. Sebenarnya Rusia juga punya peluang menyuplai kebutuhan mereka, tapi kondisi politik menghalangi hal tersebut.

Di Indonesia sendiri, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dari PLN menyebutkan perkiraan pertumbuhan demand listrik tahunan rata-rata mencapai 4,9% sampai dengan 2030. Sebagian besarnya masih dipenuhi dari PLTU sehingga demand batubara domestik sampai setidaknya lima tahun ke depan masih akan sangat terjaga.

SMDR, Kenapa Pelit Dividen? Serial Emiten #3

Buat Anda yang tidak pegang emiten ini atau tidak baca berita beberapa hari belakangan, berikut ini infonya: SMDR mengalami ARB tiga hari berturut-turut sejak Rabu (29/6). Penyebabnya, manajemen mengumumkan pembagian dividen yang nilainya kecil sekali, yaitu senilai Rp50 per lembar saham, atau sekitar 10% dari laba bersih 2021.

Jadi bagaimana posisi Anda di emiten ini? Atau sudah buru-buru bongkar muatan sejak munculnya hasil RUPS kemarin?

So, apa yang sebenarnya terjadi dengan SMDR?

Kinerja & Prospek Bisnis

Menurut public expose yang dirilis bulan lalu, sebenarnya bisnis SMDR masih tumbuh cukup pesat. Pendapatan dan laba bersih mereka sampai dengan Mei 2022 naik masing-masing 95% dan 319% year-on-year,

Sebagian besar (82,6%) pendapatan SMDR tahun 2021 berasal dari shipping line-nya. Oleh karena itu, prospek bisnis SMDR ini sangat tergantung pada harga freight internasional. SMDR ini hanya price taker. Berapa pun harga yang ditetapkan MLO (main line operators), SMDR akan mengikuti.

Kebetulan sejak pandemi, ongkos transportasi melonjak tidak terkira karena MLO menerapkan program blank sailing. Akibatnya, kontainer menjadi langka dan otomatis meningkatkan harga. SMDR seketika menikmati keuntungan dari kondisi tersebut. Hal ini tercermin dalam laporan keuangan 2021, di mana mereka menikmati pertumbuhan pendapatan dan laba bersih masing-masing sebanyak 40% dan 123% (SMDR masih mencatatkan kerugian di tahun 2020).

Masalah dunia logistik hari ini sudah bukan blank sailing lagi, tetapi congestion di pelabuhan-pelabuhan utama dunia. Akan tetapi, imbasnya tetap berwujud pada masih mahalnya harga kontainer.

Cepat Puber, Tapi Terlambat Dewasa

Anda pasti pernah baca atau dengar Sobat Rahayu seperti yang ada di gambar berikut setidaknya sekali seumur hidup:

Beberapa intelektual muslim saya lihat sampai merasa perlu ngulik-ngulik penafsiran lain terkait usia Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau menikah dengan Nabi. Kalau upaya itu dilakukan atas nama cinta pada Nabi, semoga ia bernilai kebaikan di sisi Allah.

Sayangnya, catatan para sejarawan muslim yang sudah cukup masyhur tidak menyimpulkan demikian. Yang masyhur memang Nabi menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika usianya belum 10 tahun dan baru berhubungan suami istri beberapa tahun kemudian.

Tapi apa itu berarti kita sampai perlu memandang rendah gaya hidup Nabi sebagai peradaban barbar, terbelakang, sehingga perlu dicerahkan oleh peradaban Barat?

Aduh, kalau Edward Said bisa baca kalimat di atas , mungkin dia bakal ketawa terbahak-bahak dari dalam kuburnya.

Teknikal vs Fundamental: Saham Apa yang Layak Dikoleksi Investor Pemula?

Investor ritel pasar modal Indonesia beberapa hari yang lalu dengar keributan yang berpusat di sini.

  • astronacci

Bagi Anda yang ketinggalan: Pegawai suatu perusahaan sekuritas menyindir kurangnya pemahaman mendasar tentang pasar modal dari investor yang hanya menggunakan analisis teknikal untuk trading. Salah satu yang disebut secara spesifik adalah Astronacci.

Yang bikin ramai adalah karena sindiran itu ditanggapi serius oleh orang-orang yang jualan teknik Astronacci ini, salah satunya yang tautan LinkedIn-nya saya cantumkan di atas.

Saya tidak ingin mengulas Astronacci dan apakah teknik itu, secara statistik, bisa dipercaya. Saya cuma ingin berbagi pengalaman investasi saya yang pendek ini. Berikut beberapa insight-nya.

1. Dalam Jangka Panjang, Analisis Fundamental adalah Teknik Terbaik

Dalam jangka pendek, trading dengan analisis teknikal saja bisa menghasilkan keuntungan kok. Saya juga sudah pernah mencobanya. Sayangnya, keuntungan dari teknik ini tidak bersifat konsisten dan longlasting. Setiap trading, Anda harus mempersiapkan batas cut loss untuk meminimalkan kerugian.

Yang pahit adalah apabila beberapa saat setelah cut loss, kita lihat harga saham itu lompat-lompat sampai ARA.

Sementara itu, para investor terkenal dan sugih-sugih itu semuanya berpegang pada analisis fundamental. Sebutlah nama Benjamin Graham, Peter Lynch, Warren Buffet, Charlie Munger, dan sebagainya. Tekniknya mungkin berbeda-beda, tapi alasan pemilihan saham mereka didasarkan pada kondisi perusahaan, bukan pada hitung-hitungan Fibonacci dan sejenisnya.

Oh ya, memang ada orang seperti Jim Simons yang pintarnya nggak main-main. Dia awalnya adalah matematikawan, seorang dosen, yang kemudian di usia 40an memutuskan mengejar karir di pasar modal. Dia berhasil bikin algoritma sedemikian rupa yang mampu menghasilkan keuntungan rata-rata tahunan sampai 60an% secara konsisten! Sebagai pembanding, keuntungan rata-rata Berkshire Hathaway ketika dipimpin Warren Buffet saja “hanya” 20an%.

But there’s a catch: