Bagaimana Kita Membiayai Negara Tanpa Pajak?

Beberapa waktu lalu tercetus wacana dari pejabat Kementerian Perindustrian untuk menghapuskan pajak kendaraan bermotor. Wacana ini belakangan ditindaklanjuti melalui usul resmi Menteri Perindustrian kepada Menteri Keuangan. Yang akhirnya ditolak.

Saya yakin ada beberapa pertanyaan bernada skeptis soal usul ini. Tapi mari berprasangka baik dan berasumsi wacana ini sungguh-sungguh tulus dan bukan bagian dari lobi asosiasi industri.

Jadi, dari mana negara mengumpulkan uang untuk menyelenggarakan urusan publik selain pajak?

Beberapa kader Hizbut Tahrir yang tulisannya tersebar di internet, seperti beliau, berpendapat bahwa kita bisa mengurus negara tanpa pajak dan utang. Sayangnya seperti banyak tulisan kader Hizbut Tahrir lainnya, beliau terjebak pada slogan belaka. Belum saya temui hitung-hitungan yang agak rinci dan konkret dari kader organisasi ini sehingga bisa jadi alternatif tawaran kebijakan. Saya coba mengisi ruang ini.

(Kalau Anda pernah baca hitung-hitungan soal itu, silakan drop tautannya di comment)

Baik, kita mulai. Mari kita hitung satu persatu.

Zakat maal

Berapa potensi zakat maal di Indonesia? Uraian dalam paragraf berikut didasarkan pada beberapa asumsi:

  1. Obyek zakat hanya alat tukar (tidak termasuk emas, perak, aset tetap, aset finansial, dan bentuk aset lainnya) yang nishabnya dihitung dengan kadar emas.
  2. Seluruh warga Indonesia adalah muslim sehingga seluruhnya adalah subyek zakat.
  3. Badan usaha juga dimasukkan sebagai subyek zakat. Dalam hal ini, diasumsikan seluruh badan usaha dimiliki sepenuhnya oleh muslim sehingga seluruh badan usaha tersebut wajib membayar zakat.
  4. Uang tersimpan di bank dianggap seluruhnya telah mencapai haulnya.

Jumlah uang mengendap di bank dapat dilihat dari laporan Lembaga Penjamin Simpanan berikut.

Jumlah simpanan pada bank umum di Indonesia

Informasi di atas menyebutkan bahwa terdapat Rp 6.304 triliun dana nasabah yang tersimpan di bank-bank umum di Indonesia per Maret 2020. Apabila mempertimbangkan nishab emas, maka kita dapat mengurangkan rekening dengan saldo kurang dari Rp 100 juta untuk mendapat hasil yang lebih akurat. Hasilnya, mempertimbangkan asumsi-asumsi di atas, kita peroleh dasar pengenaan zakat senilai Rp 5.447 triliun. Zakatnya tinggal dikalikan 2,5% saja.

Potensi: Rp 136 triliun

Zakat Perdagangan

Zakat Perdagangan dihitung dengan nishab dan kadar semisal zakat maal, yaitu 85 gram emas dan 2,5%. Dasar pengenaan zakatnya diambil dari penghitungan laba bersih dari perniagaan/perdagangan.

Untuk memperjelas, zakat maal adalah zakat atas harta yang mengendap. Sementara zakat perdagangan adalah zakat atas hasil perniagaan.

Mengingat dasar pengenaan zakatnya adalah laba bersih, kita bisa menggunakan data Direktorat Jenderal Pajak untuk menghitung potensi zakat perdagangan. Menurut Laporan Tahunan DJP 2018, diketahui bahwa:

  1. Pajak penghasilan Pasal 25/29 yang dibayarkan WP Badan mencapai Rp 252 triliun dengan tarif pajak 25% dari laba sebelum pajak;
  2. Pajak penghasilan Pasal 25/29 yang dibayarkan WP Orang Pribadi mencapai Rp Rp 9 triliun dengan tarif pajak 0,5% dari peredaran bruto (diasumsikan bahwa seluruh WP OP di sini peredaran usahanya kurang dari Rp 4,8 miliar).

Dengan berbagai simplifikasi untuk mempermudah hitungan, informasi tarif pajak di atas mengindikasikan bahwa potensi zakat perdagangan adalah sepersepuluh dari total pajak penghasilan badan yang dikumpulkan DJP tahun 2018.

Potensi: Rp 26,1 triliun

Sedikit catatan: Sebenarnya kita bisa menghitung nilai zakat perdagangan dari Produk Domestik Bruto. PDB mencerminkan aktivitas produksi agregat dari suatu negara dalam setahun. Tapi saya menggunakan data DJP sebagai proxy karena realisasi penerimaan pajak ini lebih mencerminkan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pungutan dari warganya.

Zakat Profesi

Ada dua pendapat soal ini: yang mewajibkan zakat profesi dan yang tidak. Tapi untuk keperluan hitung-hitungan ini, mari berasumsi bahwa kita mengambil pendapat yang mewajibkan. Besarannya sama, yaitu 2,5% dari penghasilan seseorang.

Menurut Laporan Tahunan DJP 2018, diketahui bahwa pajak penghasilan Orang Pribadi Pasal 21 mencapai Rp 134 triliun. Tarifnya progresif: 5%, 15%, 25%, dan 30%, tergantung pada jumlah penghasilan tahunan dan jumlah tanggungan Anda.

Mengingat DJP tidak mengumumkan rincian pajak dari masing-masing tax bracket, lagi-lagi kita harus berasumsi dalam menentukan tarif mana yang digunakan.

Laporan Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia dari BPS yang dirilis Februari 2020 lalu menyebut bahwa rata-rata upah/gaji bersih bulanan buruh/karyawan di Indonesia adalah Rp 2.917.497. Laporan ini tidak menyebutkan median dataset tersebut. Sebenarnya upah Rp 2,9 juta masih di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak, sehingga buruh/karyawan dengan penghasilan demikian tidak perlu membayar pajak. Tapi karena kita menggunakan data ini hanya untuk keperluan pemilihan tax bracket, jadi tidak masalah.

Dengan data tersebut, kita bisa memperkirakan bahwa penerimaan pajak dari Orang Pribadi Pasal 21 menggunakan tarif 5%. Mengingat besaran zakat profesi adalah 2,5%, maka kita tinggal membagi dua perolehan pajak penghasilan tahun 2018 tersebut.

Potensi: Rp 67 triliun

Jizyah

Harap diingat bahwa ketika kita menghitung zakat maal, kita menggunakan asumsi optimis bahwa seluruh warga Indonesia adalah muslim sehingga semua harus membayar zakat. Tapi kali ini, mari menggunakan data kependudukan dari BPS.

Berdasarkan sensus penduduk 2010, BPS mencatat penduduk Indonesia sejumlah 237 juta jiwa. Penduduk muslimnya berjumlah 207 juta jiwa. Artinya, ada sekitar 30 juta nonmuslim yang dapat dikenakan jizyah.

Imam Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyyah menyebutkan bahwa jizyah hanya dipungut atas laki-laki merdeka. Artinya, perempuan, anak-anak, dan orang yang berada dalam tanggungan kepala keluarga tidak dipungut jizyah.

Mari berasumsi bahwa seluruh nonmuslim yang tercatat dalam data kependudukan BPS tersebut seluruhnya adalah keluarga dengan dua orang anak. Artinya, setiap empat orang nonmuslim, terdapat satu orang yang dapat dipungut jizyahnya. Kita mendapatkan angka 7,5 juta jiwa dari asumsi ini.

Berapa besarnya jizyah? Para ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i hanya menyebutkan batas minimalnya: satu dinar (sekitar Rp 3,8 juta). Imam Abu Hanifah membagi menjadi tiga kelompok: empat puluh dirham (Rp 3,6 juta) bagi orang kaya, dua puluh empat dirham (Rp 2,1 juta) bagi kelas menengah, dan dua belas dirham (Rp 1 juta) bagi orang miskin.

Untuk menyederhanakan penghitungan, mari kita ambil asumsi terbesarnya saja: satu dinar.

Potensi: Rp 28,5 triliun

Ghanimah dan Fai’

Ghanimah secara sederhana berarti harta rampasan perang. Ia adalah harta yang ditinggalkan pemiliknya dan dipungut oleh tentara muslimin selepas perang. Sementara fai’ adalah pungutan dari wilayah nonmuslim yang baru saja ditaklukkan.

Keduanya tentu saja terkait dengan ekspansi dan, terkadang, peperangan. Tetapi mengandalkan penerimaan negara di era modern dari peperangan itu sangat tidak realistis.

Pertama, karena negara muslim belum tentu memenangi perang.

Kedua, ongkos perang modern luar biasa besar. Jika peperangan di masa Nabi hanya perlu kendaraan (onta, kuda, atau bahkan jalan kaki) dan peralatan tempur sederhana (pedang, baju perang, dan perbekalan bagi prajurit), perang di era modern perlu pesawat tempur, kapal induk, kapal perang, tank, drone tempur, senjata pasukan infanteri berikut amunisinya. Jadi kalaupun menang, “modal” memenangi peperangan tidak sebanding dengan apa yang didapatkan. Ini pun dengan asumsi pihak yang kalah tidak melakukan strategi bumi hangus ketika mereka meninggalkan wilayahnya.

Karena tidak ada sumber terbuka yang bisa digunakan untuk menghitung potensi ghanimah dan fai’, maka kita anggap saja tidak ada yang bisa diperoleh Indonesia dari hal ini sebagai pengganti pajak.

Potensi: Rp 0

Sumber Daya Alam

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2019 menyebutkan bahwa pemerintah mendapatkan Rp 154 triliun dari pendapatan Sumber Daya Alam. Ini termasuk dari sektor minyak bumi, gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan pertambangan panas bumi.

Terdapat alternatif penghitungan lain, yaitu berdasarkan ekspor SDA. Alasannya, hasil alam untuk konsumsi dalam negeri hanya diperdagangkan oleh pengusaha sehingga pemerintah tidak punya hak apa pun selain zakat perdagangannya.

Sementara penghitungan ekspor SDA berikut berangkat dari asumsi bahwa hasil alam dari suatu negeri dimiliki oleh negara yang hasilnya seluruhnya masuk ke kas negara.

Seperti biasa, kita tuliskan asumsi-asumsinya dulu.

  1. Hitung-hitungan berikut hanya mencakup nilai ekspor sumber daya alam saja.
  2. Hasil ekspor seluruhnya dilakukan oleh pemerintah dan hasilnya masuk ke kas negara. Pada kenyataannya, ekspor dilakukan oleh pelaku usaha, bukan pemerintah.
  3. Margin rata-rata untuk seluruh jenis usaha ekstraksi sumber daya alam adalah 10% (setelah ongkos produksi dan pengapalan). Sulit sekali menghitung margin untuk seluruh jenis usaha, mengingat ada regulasi spesifik untuk komoditas tertentu, seperti batubara, nikel, dan sebagainya. Kita asumsikan 10% untuk mempermudah hitungan kita.

Laporan BPS menunjukkan informasi berikut.

Nilai Ekspor Indonesia Desember 2019. Sumber: Berita Resmi Statistik Ekspor Impor

Apabila kita menghitung industri ekstraktifnya saja (migas dan pertambangan), kita mendapati bahwa nilai ekspor sumber daya alam mencapai USD 37,345 miliar, atau setara dengan Rp 485 triliun. Dengan tiga asumsi yang sudah saya sebutkan di atas, kita bisa menghitung secara kasar bahwa pemerintah dapat mengisi kas negara sebanyak Rp 48,5 triliun pertahun dari industri ini.

Potensi: Rp 154 triliun (ambil pendekatan yang menghasilkan penerimaan lebih besar)

Dari hitung-hitungan di atas, mungkin muncul pertanyaan: kenapa negara kaya minyak di Timur Tengah bisa demikian sejahtera, sementara Indonesia yang juga kaya minyak begini-begini aja?

Indonesia memang sempat menikmati surplus dari kenaikan harga minyak dunia, tapi itu dulu sekali. Pada tahun 70-80an ketika jumlah lifting masih jauh di atas konsumsi minyak dalam negeri kita. Ceritanya berubah ketika kita sudah jadi net importer minyak.

Sebagai perspektif, mari bandingkan data produksi minyak antara Indonesia dan Arab Saudi, sebagai negara terkaya di kawasan Teluk. Lifting minyak Indonesia mencapai 829 ribu barel per hari pada 2016 lalu. Adapun produksi minyak Saudi pada periode yang sama menapai 12 juta barel per hari. Apabila kita menambahkan lifting gas Indonesia yang 1,1 juta barel setara minyak per hari pun, masih bukan apa-apanya dibanding produksi minyak Saudi.

Plus, konsumsi minyak Saudi tercatat 3,3 juta barel per hari pada 2016. Sementara Indonesia mengkonsumsi 1,6 juta barel per hari pada 2016. Artinya, ketika Saudi bisa menjual 8 juta barel minyak keluar negeri setiap hari, Indonesia harus membeli sekitar 700 ribu barel minyak per hari.

Ditambah lagi, sebagian besar dari hasil produksi minyak di Saudi diproduksi oleh BUMN bernama Aramco. (Btw, ini perusahaan dengan valuasi terbesar di dunia. Tech giants macam Amazon, Google, atau Facebook lewat jauh) Konsekuensinya, keuntungan minyak Aramco masuk ke rekening kerajaan. Sementara minyak di Indonesia diolah dengan kontrak antara perusahaan minyak dan pemerintah. Bentuk kontraknya bisa berupa gross split atau cost recovery.

Ringkasnya, selain produksinya kecil, tidak seluruh produksi minyak di Indonesia benar-benar masuk ke kas negara.

Dividen BUMN

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2019 menyebutkan bahwa bagian laba BUMN yang dibayarkan ke kas negara tahun 2019 mencapai Rp 50,5 triliun. Untuk meningkatkan dividen, perusahaan terutama harus meningkatkan laba. Untuk meningkatkan laba, ada dua hal yang secara intuitif dapat dilakukan: meningkatkan penjualan dan/atau efisiensi operasi. Mari kita mulai dari yang kedua terlebih dahulu.

Efisiensi operasi

Hal paling penting menyangkut efisiensi perusahaan adalah… gaji dan tunjangan. 😀

Tentu saja ini anekdot. Buat saya, supply/value chain (termasuk di dalamnya proses pengadaan dan distribusi) dan proses produksi memegang peranan penting. Tapi yang tidak bisa dibantah adalah: isu gaji direksi, komisaris, dan pegawai BUMN sering ditanggapi secara sensitif. Dan aspek ini juga yang paling mudah dihitung. Maka mari fokuskan urusan efisiensi ini pada gaji pejabat dan pegawai BUMN.

Sayangnya, karena superholding ala Temasek belum terbentuk di Indonesia, kita tidak bisa mengakses laporan keuangan konsolidasian seluruh BUMN yang berjumlah sekitar 100 buah itu. Jadi kita harus menggunakan pendekatan lain untuk memperkirakan total gaji, tunjangan, dan kompensasi lain yang dibayar untuk komisaris, direksi, dan karyawan BUMN tersebut.

Pendekatan itu dapat diperoleh dari salah satu BUMN terbesar Indonesia: Pertamina. Perusahaan ini menyerahkan dividen senilai USD 563 juta atau Rp 7,8 triliun (asumsi kurs Rp 14.000) untuk operasi tahun 2019. Di sisi lain, Laporan Keuangan Konsolidasian Pertamina menyebutkan bahwa perusahaan belanja pegawainya mencapai Rp 31 triliun dengan jumlah pegawai 32.449 orang. Artinya, belanja pegawainya mencapai 3,6 kali dari nilai dividennya.

Pembayaran Gaji Pertamina. Diolah dari Laporan Keuangan Konsolidasian Pertamina 2019

Mari gunakan persentase ini untuk menghitung jumlah belanja pegawai di seluruh BUMN. Apabila diketahui bahwa total dividen yang diterima pemerintah mencapai Rp 50,5 triliun, maka perkiraan belanja pegawainya mencapai Rp 181,8 triliun.

Asumsikan saja kita sepakat bahwa ini terlalu besar. Kita ingin belanja pegawai itu dipotong 30% dan seluruhnya disetorkan kepada kas negara. Maka kita mendapat tambahan senilai Rp 54,5 triliun.

Meningkatkan penjualan

Mari sejenak meninggalkan hitung-hitungan BUMN ini dan sedikit berandai-andai. Seandainya seluruh barang publik di Indonesia dikenakan biaya. Misalnya begini:

Biaya langganan jalan raya Rp 500 ribu sebulan
Biaya langganan pendidikan Rp 1 juta sebulan
Biaya kesehatan Rp 100 ribu per kedatangan di dokter umum
Biaya keamanan Rp 1 juta per laporan

Dan sebagainya..

Semua ini perlu Anda bayar sendiri karena negara tidak punya cukup sumber daya untuk membiayai layanan-layanan itu. Karena tak ada pajak. Jadi alih-alih negara, penyelenggara layanan di atas adalah badan usaha. Baik milik negara maupun swasta. Karena namanya badan usaha, tujuannya tentu laba.

Tanpa membayar itu semua, Anda tidak boleh mengakses jalan raya, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Jadi kalau Anda bekerja sebagai tukang becak, kebetulan miskin dan tidak mampu bayar pungutan-pungutan itu tadi, ya Anda tidak boleh berjalan di jalan raya, tidak boleh menyekolahkan anak di sekolah negeri, tidak boleh berobat gratis di puskesmas, tidak bisa menjamin keamanan rumah Anda, dan sebagainya.

Masalahnya, menyerahkan layanan publik pada institusi berorientasi laba lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Ini karena penyedia layanan akan terdorong melayani kepentingan pihak yang memberikan laba terbesar: orang kaya. Anda tidak akan dianggap sebagai warga negara hanya karena Anda tidak mampu membayar sebanyak orang-orang kaya.

Hal yang sama kurang lebih juga berlaku pada barang-barang selain barang publik.

Mari bayangkan ketika BUMN yang mengurusi hajat hidup orang banyak seperti PLN dan Pertamina dipaksa menyumbang dividen sebanyak mungkin demi mengisi kas negara. Kemungkinannya: perusahaan mengintensifkan layanan di ceruk yang lebih mungkin menghasilkan banyak uang; ceruk orang kaya. Maka boleh jadi permukiman orang miskin bakal susah ditemui SPBU dan listriknya kena penyalaan bergilir.

Lho bukankah walaupun saya sudah membayar pajak, saya juga tetap harus membayar biaya-biaya di atas?

Betul, tapi setidaknya jauh lebih murah dibanding apabila barang-barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu murni diserahkan ke pasar. Sehingga kalaupun harus bayar, nilainya tidak terlalu besar.

Di sekolah negeri misalnya, wali murid tidak perlu memikirkan gaji guru dan fasilitas penunjang belajar yang standar. Guru ada, ruang kelas ada, meja kursi ada. Itu semua sudah dibangun dengan tanggungan APBN. Kecuali kalau wali murid dan komite sekolah bermaksud menambah fasilitas ini itu yang tidak bisa ditanggung negara.

Selain itu, untuk menikmati listrik, pengguna dengan kelas ekonomi terbawah mendapat subsidi. Untuk menikmati pendidikan dasar, biayanya lebih murah dibanding sekolah swasta. Bahkan kalau punya cita-cita kuliah, ada beasiswa bahkan sampai S-3.

Jadi ketimbang meminta BUMN lebih banyak lagi memeras warga Indonesia, saya kira lebih baik kita bertahan pada status quo dalam hal ini.

Potensi: Rp 105 triliun

Ringkasan

Potensi zakat maal: Rp 136 triliun
Potensi zakat perdagangan: Rp 67 triliun
Potensi jizyah: Rp 28,5 triliun
Potensi fai’ dan ghanimah: Rp 0
Potensi sumber daya alam: Rp 154 triliun.
Potensi dividen BUMN: Rp 105 triliun

Total potensi: Rp 490,5 triliun

Perlu diingat bahwa kecuali pada zakat profesi, saya menggunakan asumsi yang sangat optimis. Apalagi ketika kita menghitung potensi dari sumber daya alam. Artinya, apabila diterapkan saat ini juga, pendapatan negara nonpajak yang berhasil dipungut kemungkinan besar kurang dari angka ini.

Sebagai pembanding, belanja pemerintah pusat dalam APBN 2021 ditetapkan sejumlah Rp 2.750 triliun.

Kita tentu bisa berargumen bahwa pemerintah perlu melakukan efisiensi. Tapi mari bahas dalam kesempatan lain.

Oya, jelas saja saya melewatkan beberapa sumber pendanaan yang disebutkan secara eksplisit dalam Islam, seperti zakat tanah nonproduktif (yang saya yakin jumlahnya lumayan), wakaf, dan sebagainya. Ini lebih karena saya kesulitan mengestimasi potensi penerimaan dari data yang tersedia secara publik.

Selain itu, tulisan ini memang tidak bermaksud memberi hitung-hitungan seakurat mungkin, tapi lebih pada memberikan gambaran soal potensi penerimaan negara di luar pajak.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pijakan diskursus selanjutnya supaya kita tidak terjebak pada slogan belaka ketika bicara keuangan negara.

Jadi menurut Anda, apakah saat ini kita bisa membiayai negara tanpa pajak?

1 komentar untuk “Bagaimana Kita Membiayai Negara Tanpa Pajak?”

  1. Pingback: Simulasi APBN – Solilokui

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *