Bukankah Kita Lebih Perlu Sertifikat Non Halal?

Islam adalah agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Oleh karena itu, kita bisa mengasumsikan makanan yang disajikan sebagian besarnya adalah makanan halal. Tentu saja kecuali bagi makanan yang jelas-jelas diolah dengan bahan baku non halal.

Konsekuensinya, kita lebih perlu sertifikat non halal, alih-alih sertifikat halal.

Apalagi kalau kita lihat Saudi, misalnya. Di sana, sertifikat halal terlihat tidak terlalu laku, sementara semua makanan yang beredar di pasar adalah makanan halal.

Selain itu, sertifikat halal dikhawatirkan mendorong konsumen mencurigai produk-produk yang belum bersertifikat halal sebagai makanan non halal. Padahal, yang terjadi adalah pelaku usaha tersebut belum mendaftarkan produknya untuk sertifikasi halal saja.

Kendala berikutnya adalah, sertifikat halal ini justru dikhawatirkan meningkatkan cost secara signifikan bagi pelaku usaha mikro. Akibatnya, pelaku usaha kita dikhawatirkan tidak kompetitif lagi dan kalah bersaing dengan produk-produk impor yang lebih mampu menanggung biaya sertifikasi halal.

Masuk akal, kan? Pernahkah Anda punya pemikiran yang sama?

Oya, untuk memastikan halal assurance system, proponen argumen-argumen di atas biasa mengajukan proposal sebagai berikut:

  • Kewajiban mencantumkan keterangan ingredients non halal yang harus dilaksanakan produsen. Penalti dikenakan bagi pihak yang ditemukan tidak patuh.
  • Sertifikat halal hanya perlu diwajibkan bagi komoditas ekspor saja, untuk melayani kebutuhan pasar internasional di segmen premium dan memiliki concern pada kehalalan produk.

Saya telah menjawab beberapa argumen di atas di artikel berikut. Intinya, kita perlu sertifikasi halal setidaknya karena dua alasan ini:

  • Asumsi seluruh makanan adalah halal sulit berlaku bagi makanan olahan di level industri.
  • Makanan berstatus syubhat, atau bahkan nyata-nyata haram, masih diperbolehkan beredar di Indonesia. Berbeda dengan Saudi, misalnya.
  • Sertifikasi non halal berkonsekuensi membuat posisi pemerintah sebagai “polisi”, yang harus mengecek kepatuhan produsen (sebagaimana proposal argumen di atas).

Uraian lengkapnya bisa Anda simak dalam artikel tersebut.

Selain dua alasan di atas, terdapat beberapa alasan lain yang mudah-mudahan bisa menjawab keresahan yang tampak dari argumen-argumen di awal tulisan ini.

Daftar Isi

Sertifikasi halal berfungsi sebagai assurance

Sejak awal, MUI dan pihak terkait lainnya menganggap sertifikasi halal adalah upaya assurance. Secara singkat, jasa assurance adalah jasa profesional independen yang bertujuan meningkatkan kualitas informasi. Penyedia jasa bertugas melakukan pengecekan apakah informasi yang terkandung dalam suatu laporan dapat dipercaya.

Mungkin ia bisa dijelaskan melalui ilustrasi berikut.

Seseorang akan menjual mobilnya kepada orang lain. Penjual mengatakan mobil ini berada dalam kondisi sempurna. Namun, pembeli merasa bahwa dia awam mengenai mobil. Ia tidak tahu bagaimana kondisi sebenarnya dari mobil tersebut. Maka sebelum membeli, dia menyewa jasa seorang montir kepercayaannya. Pembeli minta montir itu memeriksa seluruh bagian mobil untuk meyakinkan dirinya bahwa membeli mobil ini memang baik-baik saja.

Let’s say pembeli itu tidak jadi menggunakan jasa montir tersebut karena suatu hal. Tanpa pengecekan, apakah kita bisa langsung bilang mobil itu memiliki cacat? Tentu tidak.

Demikian juga yang terjadi pada produk makanan dan minuman. Produk yang belum disertifikasi belum tentu haram, tapi produk yang sudah disertifikasi bisa dipastikan tidak mengandung barang haram di dalamnya setelah melalui serangkaian uji yang dilakukan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

LPH hanya menguji kehalalan produk-produk yang didaftarkan pada mereka. Kalau Anda menjumpai ada produk yang belum bersertifikat halal, kemungkinannya ada dua.

Pertama, suatu produk sesungguhnya terbebas dari barang-barang haram, tetapi produsennya belum mendaftarkan produk tersebut untuk sertifikasi halal.

Kedua, produk tersebut tidak lulus uji kelalalan.

Produk yang belum disertifikasi belum tentu haram, tapi produk yang sudah disertifikasi bisa dipastikan tidak mengandung barang haram

Solilokui.net

Kalau ada di antara masyarakat yang menganggap bahwa setiap produk yang belum disertifikasi pasti haram, ya itu perlu diluruskan. Berhati-hati dalam memilih makanan bagi diri sendiri tentu baik. Tapi beda perkaranya kalau kita sampai melemparkan tuduhan yang tidak-tidak terkait suatu produk.

Dan bagi saya, “obat” kesalahpahaman masyarakat adalah edukasi, bukan perubahan sistem secara radikal.

Apakah seluruh produk makanan memerlukan sertifikasi halal?

Urgensi sertifikasi memang tidak terlalu besar kalau titik kritisnya tidak banyak. Mari ingat kata kunci tersebut: titik kritis halal. Ia didefinisikan sebagai proses tertentu dalam rantai produksi yang sangat berpotensi mengubah status kehalalan suatu produk. Akibatnya, produk yang punya banyak titik kritis bisa jadi statusnya menjadi syubhat.

Semakin banyak titik kritis halal dari rantai produksi suatu produk, semakin perlu kita pada sertifikasi halal.

Masalahnya, perkara titik kritis halal ini tidak dipahami oleh semua orang. Ia perlu pengetahuan advanced antara lain di bidang teknologi pangan. Riset-riset halal ini juga awalnya datang dari para saintis yang punya concern khusus mengenai kehalalan makanan.

Maka untuk mempermudah, sementara ini rule of thumb atau acuan gampangnya adalah sebagai berikut: Kalau dapurnya bisa kita lihat dan ingredients-nya bisa kita tanyakan sendiri pada pedagang, maka urgensi sertifikasi halal tidak terlalu besar. Contohnya pada pedagang gorengan atau warung nasi padang.

Kenapa begitu? Ya karena cukup mudah bagi kita untuk memastikan sendiri kehalalan produknya tanpa bantuan Lembaga Pemeriksa Halal. Kan tinggal tanya.

Lain halnya kalau kita bicara tentang makanan olahan yang diproduksi secara massal di pabrik. Panjangnya rantai produksi menyebabkan ia bisa punya banyak sekali titik kritis yang membuatnya sangat rawan terkontaminasi barang haram.

Menanyakannya langsung ke pabriknya saya kira bukan sesuatu yang praktis. Lagipula, saya yakin hanya sedikit orang di perusahaan tersebut yang tahu persis kandungan dari suatu produk.

Untuk yang ini, saya kira kita sepakat sertifikasi halal itu perlu.

komponen haram yang biasa menjadi bahan baku di industri makanan dan minuman
Sumber: IHATEC

Upaya menekan biaya

Buat saya, ini adalah argumen paling valid dan paling masuk akal dari pihak yang tidak menyukai sertifikasi halal. Audit kehalalan itu butuh biaya. Dan jumlahnya sangat signifikan bagi pengusaha mikro yang modal awalnya tidak sampai Rp10 juta.

Makanya, UU Cipta Kerja hanya mewajibkan pelaku usaha mikro dan kecil untuk melakukan self declare. Self declare adalah suatu pernyataan mandiri dari pelaku usaha mikro dan kecil bahwa produk mereka adalah produk halal.

Tentu saja pernyataan itu tidak bisa diberikan sembarangan. Pada dasarnya setiap produk yang dinyatakan halal telah melalui proses pemeriksaan. Hanya saja, bagi pelaku usaha mikro dan kecil, pemeriksaan itu tidak perlu dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal yang lebih mahal karena prosesnya lebih panjang.

Prosedur lengkapnya akan saya sampaikan dalam tulisan lainnya, insya Allah.

Tapi intinya, langkah menekan biaya ini tengah diupayakan para stakeholders halal tanah air. Let’s see bagaimana kelanjutannya.

Bisakah kita mengandalkan kejujuran produsen?

Secara historis, sulit untuk mengatakan iya. Contohnya adalah keributan di Twitter beberapa waktu lalu berikut.

Kalau Anda adalah proponent argumen “sertifikasi/logo non halal”, well, aturannya sudah ada. Apakah dipatuhi? Apakah enforcement-nya efektif?

Saya rasa, beberapa twit di atas, beserta keributan di QRT dan replies-nya, sudah bisa menggambarkan apa yang akan terjadi kalau kita menyerahkan inisiatif itu kepada dunia usaha.

Saya rasa, respon pelaku usaha seperti yang saya ambil contohnya di atas itu sangat bisa dipahami. Mereka punya insentif untuk melakukan “penipuan”. Label non halal akan mempersempit pasar mereka. Sementara memproduksi sesuatu dengan cara yang halal boleh jadi menambah biaya produksi.

Sertifikasi non halal dalam prakteknya sulit sekali diimplementasikan

Sertifikasi haram/non halal ini menurut saya malah lebih sulit di sisi implementasinya. Ia membawa konsekuensi “yang tidak berlabel non halal pasti halal”. Kok gitu?

Karena kalau kita pakai logika “yang tidak berlabel non halal belum tentu halal”, ya label non halal itu jadi tidak bermanfaat. Tanpa label itu, saat ini kita juga sudah berpikiran begitu.

Kendala berikutnya adalah dengan logika “yang tidak berlabel non halal pasti halal” membawa konsekuensi pemerintah bertindak sebagai “polisi”. Dalam rangka perlindungan konsumen, semua produk akhirnya harus diperiksa kehalalannya, yang tentu saja biayanya ditanggung pemerintah juga. Kira-kira sama dengan peran yg diemban BPOM selama ini. Yang tidak lulus uji kehalalan, produknya harus diberi label non halal (produk lainnya tidak perlu diberi label apa pun). Atau malah tidak boleh beredar sama sekali.

Pertanyaannya, apakah pemerintah mau? Saya sih mau-mau saja hehehe.

Hanya saja, cara ini tidak ekonomis. Sekali lagi, dalam rangka perlindungan konsumen, pemerintah harus bertindak seperti “polisi”. Maka kalau saya berperan sebagai pemerintah dan opsinya adalah:

a. Jaminan kehalalan merupakan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya.
Konsekuensinya, biaya dan proses pengawasannya jadi tanggungan pemerintah sepenuhnya.

b. Jaminan kehalalan merupakan tanggung jawab produsen.
Konsekuensinya, biaya ditanggung pelaku usaha dan pengawasan jadi tanggungan pemerintah.

Mana yang akan Anda pilih?

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *