Disclaimer: Kondisi keluarga dan keuangan setiap orang berbeda-beda. Apa yang saya tuliskan di artikel ini belum tentu cocok untuk semua orang, tapi semoga bermanfaat sebagai tambahan perspektif.
Mengingat disclaimer tersebut, izinkan saya cerita sedikit mengenai latar belakang keuangan saya.
Saya bekerja kantoran di Jakarta dan tinggal di daerah satelit berjarak 32 kilometer dari kantor. Saya bukan bagian dari generasi sandwich dan tidak punya anggota keluarga dari orangtua saya yang harus saya tanggung. Ketika tulisan ini ditulis, saya punya dua orang anak dan keduanya belum masuk sekolah. Penghasilan saya adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Selain dari kerja kantoran, beberapa tahun lalu saya sempat punya usaha sampingan dengan keuntungan sekitar 70% penghasilan bulanan saya.
Needless to say, saya sangat bersyukur mendapati hal-hal demikian.
Rumah ini saya beli secara tunai setelah 5 tahun bekerja. Bukan rumah baru. Usia rumah ini kira-kira 10 tahun ketika saya membelinya. Harganya sekitar 2-3 kali penghasilan tahunan saya ketika membeli rumah tersebut. Yang perlu diperhatikan, penghasilan bulanan saya di 2 tahun pertama kerja jauh lebih kecil dari itu.
Mengapa saya beli secara tunai?
Pertama, saya tak ingin berurusan dengan lembaga perbankan. Selain karena persoalan riba, fluktuasi bunga KPR bakal sangat mempengaruhi cashflow keluarga saya. Saya tidak ingin keputusan-keputusan penting saya di masa depan dibatasi oleh urusan keuangan ini.
Sebagai contoh, tak lama setelah melunasi rumah tersebut, saya dapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah dengan status tugas belajar. Konsekuensinya, penghasilan saya akan jauh berkurang, lebih dari setengahnya, selama hampir 2 tahun saya kuliah. Kalau penghasilan saya selama tugas belajar masih di atas PTKP sih mungkin tidak masalah. Nyatanya, bahkan tanpa cicilan-cicilan, saya hampir tidak bisa menabung tiap bulan kalau hanya mengandalkan penghasilan dari kantor selama kuliah itu.
Jadi kalau punya cicilan KPR, kemungkinan besar saya akan melewatkan kesempatan pengembangan diri itu. And it turns out bahwa keputusan untuk kuliah itu benar-benar positif bagi karir saya di kantor. Sulit membayangkan betapa suram masa depan saya di kantor kalau saya tidak lanjut kuliah saat itu.
Oya, ini baru soal saya sendiri. Saya membayangkan apabila saya harus menghadapi kewajiban cicilan yang luar biasa panjang, 15 atau 20 tahun misalnya. Boleh jadi yang akan saya korbankan berikutnya adalah pilihan sekolah dan fasilitas pendidikan buat anak-anak, jumlah sedekah bulanan, hingga pendaftaran haji saya dan istri.
Kedua, cicilan KPR itu, baik dijalankan dengan skema pinjaman ribawi maupun jual beli (yang berbentuk murabahah, MMQ, IMBT, atau bentuk lainnya), berkonsekuensi meningkatkan jumlah uang yang harus kita bayar. Rumah yang kalau kita beli tunai dengan uang tabungan sendiri itu berharga Rp400 juta akan jadi Rp500 juta apabila dibeli secara kredit. Tentu saja jumlahnya bervariasi, sesuai besarnya uang muka dan tempo pelunasan.
Sebagai ilustrasi, kita bisa memperlakukan keluarga kita sebagai entitas akuntansi. Pembelian rumah dengan skema KPR itu bisa digambarkan dalam jurnal berikut.

Jurnal tersebut dapat dibaca dengan cara berikut: Untuk mendapatkan rumah senilai Rp400 juta, saya harus mengeluarkan uang sebanyak Rp500 juta. Rp400 jutanya untuk membayar rumah yang akan dicatat sebagai aset; Rp100 jutanya untuk membayar bunga yang akan dicatat sebagai beban/expense.
Beban/expense nantinya akan masuk di Laporan Laba Rugi. Kalau penerimaan/revenue lebih kecil daripada beban/expense, entitas tersebut akan mengalami kerugian yang akhirnya bakal mengurangi ekuitas atau kekayaan bersihnya (net worth). Dalam hal ini, entitasnya ya kita sendiri. Maka logikanya mudah saja: beban atau belanja pada dasarnya mengurangi kekayaan bersih kita.
Atau dalam bahasa yang lebih bombastis: buying consumer goods in installment keeps you poor.
Dua alasan itu bisa saja Anda jawab: “Wajar saja kita membayar lebih mahal. Penghasilan kita kan juga senatiasa berkembang dari waktu ke waktu. Kemudian, ketika kita berhasil melunasi KPR itu, harga rumah pasti sudah naik jauh melebihi total uang yang harus kita bayar sehingga nilai rumah yang kita catatkan di akhir tenor harusnya lebih besar daripada Rp400 juta.”
Tidak. Penghasilan kita belum tentu berkembang dari waktu ke waktu. Setahu saya, tidak ada satu pun peraturan yang mewajibkan pemberi kerja secara berkala menyesuaikan kompensasi para pekerjanya. Yang ada adalah penyesuaian upah minimum. Ini pun tidak sustainable karena tergantung pada dinamika politik setiap tahun. Tahun ini naik, belum tentu tahun depan juga. Desakan untuk menaikkan upah minimum saya yakin tidak bakal ditanggapi serius di masa-masa pandemi begini, apalagi ketika jaringan pengusaha punya lobi yang cukup kuat pada pengambil kebijakan.
Tapi Anda bisa jadi benar soal peningkatan harga rumah, khususnya di Jawa. Jumlah penduduk Indonesia (yang sebagian besar tinggal di Jawa) memang terus tumbuh, dan semuanya pada suatu waktu akan butuh rumah selain rumah orangtuanya untuk berteduh. Artinya, permintaan perumahan akan selalu ada. Tapi kalau rumah Anda kebetulan langganan banjir, jauh dari keramaian, jauh dari akses transportasi umum, salah perencanaan, dan kadung dibeli dengan skema pembiayaan seperti di atas, ya harus siap-siap boncos.
Oya, keengganan menggunakan fasilitas pembiayaan ini pilihan pribadi. Saya sekedar cerita mengenai alasan dari pilihan yang saya ambil. Sekali lagi, latar belakang keuangan kita berbeda sehingga Andalah yang bisa memilih mana keputusan keuangan yang terbaik bagi Anda.
Tapi kalau memang harus mencicil, kita harus mampu mengukur diri dengan jujur. Biasanya para perencana keuangan punya rule of thumb berikut kalau sedang bicara tentang cicilan dan pengelolaan keuangan keluarga.
30% cicilan (maksimal)
20% tabungan & investasi
50% biaya hidup (maksimal)
Apa pun skema yang Anda pilih, izinkan saya beri beberapa saran bagi Anda yang sedang berjuang untuk beli rumah.
1. Pilih rumah di lokasi yang sesuai dengan kantong Anda.
Bagi mayoritas peers saya, rumah yang saya tinggali saat ini tergolong jauh, sehingga sarana transportasi saya sebelum pandemi hanya KRL. Untungnya, ada stasiun KRL yang berjarak tidak sampai 1 kilometer dari rumah saya. Tapi ya memang segitu kemampuan saya. Saya cukup tahu diri sehingga enggan membandingkan diri saya yang single fighter dengan orang-orang yang punya penghasilan tambahan dari pasangannya. Ini pilihan sadar saya sejak menikah tujuh tahun lalu.
Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, rumah yang saya beli juga bukan rumah baru. Selain karena urusan harga (rumah baru di sekitar saya sudah Rp150 juta lebih mahal), dengan membeli rumah bekas, kita bisa menikmati fasos/fasum yang sudah jadi, menikmati rumah yang sudah direnovasi oleh pemilik sebelumnya (rumah baru di rentang harga rumah saya biasanya harus ditambahkan dapur dan pagar) dan terutama bisa memilih tetangga.
Memangnya Anda mau tinggal di rumah bagus yang dikelilingi tetangga yang resek?
2. Hidup hemat.
Apa? Anda sudah tahu poin ini? Berikut ini yang belum Anda tahu.
Bersikap jujurlah pada diri sendiri ketika hendak belanja: ini kebutuhan atau keinginan? Kebutuhan adalah sesuatu yang menyulitkan diri apabila tidak terpenuhi. Keinginan adalah … ya barang yang ada manfaatnya, tapi tidak penting-penting amat. Biasanya benda-benda keinginan ini punya substitusi yang lebih murah.
Salah satu faktor penting dalam persoalan kejujuran itu adalah gengsi. Kita merasa harus memiliki sesuatu yang dimiliki oleh banyak orang lainnya, terlepas apakah barang tersebut besar manfaatnya atau tidak bagi kita. Teman beli gadget baru, ikut beli. Tetangga beli kendaraan baru, ikut beli. Peers di kantor jalan-jalan ke luar negeri, ikut juga.
Saya sendiri sampai sekarang masih mengendarai motor bebek 110cc berusia 14 tahun ketika saya harus WFO. Sepertinya ini motor paling tua di parkiran motor kantor saya. Saya juga merasa biasa-biasa saja melihat peers saya sudah mulai punya mobil sementara saya belum. Ponsel dan laptop saya biasanya saya gunakan terus sampai keduanya tidak bisa berfungsi normal.
Tentu saja hal ini relatif bagi tiap orang. Motor baru bagi saya adalah keinginan, mengingat motor yang lama masih berfungsi baik-baik saja. Tapi kalau motor Anda harus dibawa ke bengkel tiap pekan, sering mogok ketika dibawa ke kantor, tentu Anda perlu mempertimbangkan untuk beli yang baru. Laptop dengan kapasitas processing dan grafis yang tinggi mungkin penting buat Anda yang bekerja sebagai ilustrator atau videografer; tapi tidak buat saya. Mobil baru mungkin penting bagi Anda yang punya banyak anak atau yang mobilitasnya cukup tinggi; tapi tidak buat saya.
Dan kalau Anda memang betul-betul perlu barang-barang di atas, sebisa mungkin belilah secara tunai. Alasannya sudah saya sampaikan di atas.
Tentu kebiasaan berhemat itu tidak sebatas pada beli barang-barang yang harganya relatif mahal saja. Kami sekeluarga mengupayakan bikin makanan sendiri ketimbang jajan. Kami jarang sekali makan-makan di luar. Weekend juga lebih banyak kami habiskan di rumah, misalnya untuk membaca. Kami baru jalan-jalan kalau kebetulan ada acara lain, misalnya menghadiri undangan pernikahan kerabat.
Yang perlu saya tekankan dari uraian di atas adalah: Perlu kejujuran yang sungguh-sungguh dalam menilai kebutuhan dan kapasitas diri. Kita biasanya cari-cari alasan untuk bisa dapat sesuatu yang kita inginkan, bukan? Dan seringnya, jujur pada diri sendiri itu sulit sekali.
Saya kadang menemui orang-orang yang triggered ketika disarankan untuk memaksa diri berhemat. Katanya penghasilannya pas-pasan, sudah untung bisa nabung, alokasi belanja ala financial planner di atas cuma buat orang berkecukupan saja, dan sebagainya. Tapi saya jumpai dia sering sekali jajan makanan di aplikasi ride-hailing yang harganya sudah di-markup habis-habisan atau belanja pakaian-pakaian fancy yang sepertinya belum begitu perlu.
Saya kira hidup hemat adalah bagian terpenting dari pengelolaan keuangan kita. Segala nasihat para financial planner itu tak bakal mampu Anda terapkan kalau Anda tidak punya uang tersisa untuk diatur. Cara memperbesar ruang fiskal itu ada dua: memperbesar penghasilan dan mengurangi belanja. Yang pertama kendalinya tidak sepenuhnya ada pada diri kita. Yang kedua sepertinya lebih realistis untuk diwujudkan dengan segera.
Ketimbang nasihat-nasihat canggih para financial planner, berhemat adalah cara yang saya temukan lebih sederhana untuk dipahami dan lebih mudah dilakukan. Hidup hemat membuat pengeluaran bulanan saya maksimal sebesar 40% dari penghasilan bulanan saya. Sisanya ditabung.
3. Mulai berinvestasi.
Tentu saja hidup hemat belum cukup. Seringkali harga rumah melesat lebih cepat ketimbang jumlah tabungan kita. Khususnya untuk rumah yang berada di kawasan asri dan bebas banjir. Maka Anda perlu cara tertentu untuk mengembangkan uang yang Anda miliki. Seperti yang saya ceritakan di awal, saya sempat punya usaha sampingan yang return bulanannya lumayan besar.
Maka mulailah berinvestasi pada instrumen yang sesuai dengan profil Anda. Apa itu instrumen yang sesuai? Kriterianya: (1) Anda memahami cara kerja instrumen tersebut dan (2) instrumen itu sesuai dengan penggunaan dana yang Anda rencanakan. Yang dulu saya lakukan adalah membuka usaha laundry. Usaha ini perlu modal yang cukup minim dibandingkan usaha lainnya. Tapi turnover dan margin-nya bagus. Kalau paham urusan laundry dan sedang punya dana lebih, Anda bisa coba ini.
Oya, tips-tips mengelola keuangan untuk pribadi ini tentu saja tidak untuk menghilangkan persoalan struktural yang menyebabkan harga rumah terus melesat (Ini semoga bisa saya bahas pada kesempatan berikutnya). Tulisan ini untuk berbagi cerita saja, siapa tahu ada manfaatnya buat Anda.
Selamat berjuang. Semoga Allah mudahkan kita memperoleh harta yang halal.
Pingback: 4 Opsi Investasi yang Aman, Bebas Tipu-Tipu, dan Cocok bagi Pemula