dunia

Puasa Membaca Berita

“Salah satu kunci produktivitas adalah berhenti rutin membaca berita atau mengecek email.” Kira-kira begitu salah satu nasihat Cal Newport di Deep Work. Tapi bahkan jauh sebelum saya baca buku itu, saya sudah berhenti rutin mengkonsumsi berita terutama di kanal media online.

Kenapa begitu? Saya mau cerita pengalaman saya dulu.

Beberapa tahun lalu, sampeyan tentu masih ingat kasus window-dressing BUMN gede di Indonesia. Saking besarnya, terungkapnya kasus ini membuat BUMN yang semula jadi salah satu peraup keuntungan terbesar jadi penderita kerugian terbesar di tahun itu. Skalanya triliunan.

Kasus ini mulai ramai ketika salah satu komisarisnya menolak menandatangani laporan keuangan yang memuat salah saji itu. Selama seminggu penuh setelah itu, setiap hari ada saja berita soal ini. Tapi selama seminggu baca berita, saya nggak dapat insight apa pun soal ini.

Isi beritanya hanya komentar orang-orang yang dianggap paham akuntansi dan manajemen korporasi. Beberapa artikel bahkan menulis komentar itu secara verbatim sehingga susah sekali membacanya. Masalahnya setidaknya ada dua:

Apa Palestina Baik-Baik Saja kalau Hamas Tidak Cari Gara-Gara?

Ditulis oleh Priyo Djatmiko, dengan penyuntingan dan tambahan dari admin.

Bagaimana jika Hamas tidak meroket Israel (yang merupakan reaksi atas penjarahan Sheikh Jarrah dan pelecehan al Aqsa)? Apa mereka tidak kasihan pada warga Gaza?

Hipotesisnya: Israel tidak akan menyerang Gaza sehingga tidak akan ada kematian ratusan anak kecil tak berdosa di Gaza.

Sayangnya, kata Ian Pappe dan Finkelstein, hipotesis seperti itu tidak terbukti sebab Israel suka cari-cari alasan. Tahun 2009 misalnya. Meski masih masa perjanjian damai, Israel yang baru saja dipermalukan oleh Hizbullah memang merencanakan menyerang Gaza sebagai upaya menyelamatkan muka pemerintah di depan rakyatnya. Skandal itu bocor, sempat ramai dan mencoreng muka pemerintah zionis. Keyword-nya adalah Goldstone Report.

Hipotesis kedua: Tidak akan terjadi apa-apa alias terwujudnya peaceful atau settling situation.

Sayangnya, orang tidak tahu bahwa sepanjang masa settling situation itu akan penuh insiden-insiden berupa penjarahan rumah warga Arab Palestina, yang terus berlanjut dan ada masanya akan terekskalasi seperti yang sudah-sudah.

Tentang Palestina

Perhatian saya soal Palestina mungkin baru mulai intens sejak akhir tahun 2008. Tepatnya ketika Operation Cast Lead sedang panas-panasnya. Sebelum itu, tentu saja saya baca berbagai hal tentang apa yang terjadi di Palestina, khususnya tentang Al Aqsha, tapi hampir tidak ada buku “serius” yang saya baca.

Saya baca tentang Nakba, tentang Perang Yom Kippur, Perang Enam Hari, Intifada Pertama dan Kedua, illegal settlement yang terus-menerus terjadi, peristiwa-peristiwa mengerikan seperti Sabra-Shatila dan beberapa buku ngetop seperti karya Karen Armstrong, Robert Garaudy, atau Noam Chomsky.

Tapi ya sudah, itu saja.

Saya tidak sempat mendalami motif, suasana sosial politik, dan argumentasi kedua belah pihak. Saya belum pernah baca buku-buku sejarah yang serius, kecuali sedikit sekali. Saya malu sendiri lihat banyak nonmuslim yang jauh lebih muda tapi jauh lebih fasih dan lebih progresif ketika bicara soal ini, bahkan ketika pendapat mereka sama dengan saya.

Saya malu sendiri mendapati ada orang Yahudi yang luar biasa vokal dalam mengangkat isu ini secara jernih, berulang kali ikut demo di jalanan; sementara saya duduk-duduk saja tidak melakukan apa-apa.

Kemudian datang peristiwa Sheikh Jarrah.

Saya berkesempatan baca latar belakang peristiwa ini, dan mau tidak mau harus membaca lebih banyak, lebih jauh ke belakang. Ini karena membaca berita di media mainstream internasional tidaklah cukup. Banyak sekali propaganda dan kampanye Zionis berseliweran di media massa dan media sosial, sehingga menyulitkan kita melihat persoalan dengan jernih.

Akhirnya selama dua pekan belakangan, masuklah saya ke dalam buku-buku soal Palestina yang sudah lama tersimpan tapi belum dibaca.

Dan insya Allah saya akan berbagi bacaan tersebut di bawah kategori “Palestina”, dimulai dari post ini.

Saya tahu blog ini bukan apa-apa di tengah samudera dunia maya, tapi kalau Anda suatu saat tersasar ke sini, saya harap Anda bisa menemukan perspektif baru yang lebih jernih dan adil dalam memandang Palestina.

Selamat membaca.

Gumam soal Sheikh Jarrah

Apa yang membuat suatu aksi damai jadi berdarah?

Robin Yasin-Kassab dan Leila Al Shami menjawab, dalam Burning Country, ketika harapan untuk bertahan hidup melalui cara-cara beradab telah lenyap. Ketika tuntutan untuk sekedar bisa hidup merdeka dijawab dengan genosida brutal.

Ini yang terjadi dengan gerakan Selmiyyeh pada upaya revolusi di Suriah. Sebagian besar faksi revolusi di Suriah sebenarnya menginginkan transisi damai (apa sih untungnya perang bagi orang biasa?). Tapi protes damai secara meluas dibalas kelewat keras. Tentara sengaja menembak ke arah kerumunan; penggunaan senjata kimia; adu domba sistematis berbasis sektarian; sampai penggunaan milisi syabihah yang sadis tidak karuan.

Tidak hanya satu-dua kali, ini terjadi berkali-kali.

Tekanan mental ini begitu kuat sampai pada titik orang-orang tak percaya lagi pada aksi damai. Pemicunya adalah militerisasi masif pemerintah untuk memukul rakyatnya sendiri. Sebagaimana pembaca maklum, pemerintah Suriah menerima bantuan militer yang luar biasa besar dari Rusia dan Iran.

Antara Blasphemy dan Kebebasan Berpendapat

Kasus penghinaan atas Nabi dan tindakan balasannya sepertinya masih jauh dari kata usai. Melihat bagaimana reaksi pemerintah Perancis dan negara-negara Eropa lainnya, sedihnya, saya kira kasus ini akan kembali berulang. Argumen negara-negara Eropa tersebut, tentu saja adalah kebebasan berekspresi.

Saya tahu bahwa masalah terbesar dari formalisasi larangan penistaan agama maupun hal-hal sakral lainnya terletak pada batasan-batasannya. Apa saja yang termasuk hal-hal sakral yang tak boleh dinista? Kapan suatu pernyataan dianggap kritik, kapan dianggap menista? Mengingat banyak kelompok masyarakat (termasuk umat Islam) tidak monolitik, apakah bila sedikit saja anggota kelompok masyarakat tersebut tersinggung, ia langsung memenuhi kriteria blasphemy? Ketika kita membatasi apa yang boleh dibicarakan seseorang, bukankah itu berarti pembatasan atas kebebasan berekspresi?

Nyatanya, kebebasan yang kita miliki memang terbatas. Waktu kecil dulu, saya diajari bahwa hak-hak kita dibatasi oleh hak-hak orang lain. Saya yakin Anda juga diajari hal yang sama. Kebebasan untuk mengendarai kendaraan milik kita sendiri, misalnya, dibatasi oleh hak berkendara dengan aman dari sesama pengguna jalan. Jadi hanya karena mesin mobil Anda cukup bagus, bukan berarti Anda bebas kebut-kebutan di jalan raya.