palestina

Ten Myths about Israel

Kalau Anda pernah bicara panjang dengan teman yang Zionis (atau simpatisannya), Anda pasti akrab dengan argumen-argumen ini.

  1. Palestina dulunya adalah tanah tak bertuan, dan orang-orang Yahudi (yang merupakan kaum tanpa homeland/kampung halaman) datang untuk memakmurkan tanah tersebut.
  2. Anti-Zionis sama dengan Anti-Semit.
  3. Israel adalah satu-satunya negara demokrasi di dunia Arab.
  4. Israel hanya melakukan agresi untuk mempertahankan diri.
  5. Hamas adalah organisasi teroris.
  6. Orang Palestina, khususnya Hamas, tidak mau diajak berdamai.
  7. Kami sudah memberikan Sinai untuk Mesir, Golan untuk Yordania, sampai Gaza untuk warga Palestina. Berapa banyak lagi yang Anda mau kami serahkan?
  8. Solusi Dua Negara adalah satu-satunya solusi paling realistis dan paling adil dalam konflik Israel-Palestina.

Dan seterusnya.

Begitu terkenalnya argumen-argumen di atas, saya sampai bisa memastikan bahwa Anda pernah membaca atau mendengar hampir semua poin di atas. Masalahnya, menurut Ilan Pappe, argumen-argumen ini terlalu sering diterima begitu saja tanpa tinjauan kritis yang memadai.

Orang-orang bisa begitu saja percaya Hamas adalah organisasi teroris hanya karena AS berpendapat demikian serta menelan begitu saja alasan-alasan yang mereka berikan. Orang bisa cepat sekali memastikan Hamas tidak bisa diajak damai hanya karena mereka menolak Oslo Accord, tanpa memperhatikan alasan keberatan mereka atas perjanjian tersebut.

Orang bisa mudah sekali menerima bahwa Israel adalah satu-satunya demokrasi di dunia Arab hanya karena mereka menyelenggarakan pemilu, punya parlemen, dan mempekerjakan satu hakim etnis Arab (beragama Kristen) di Mahkamah Agung; sambil melupakan begitu banyak undang-undang agraria dan kependudukan yang diskriminatif (kalau tidak bisa dibilang rasis).

Apa Palestina Baik-Baik Saja kalau Hamas Tidak Cari Gara-Gara?

Ditulis oleh Priyo Djatmiko, dengan penyuntingan dan tambahan dari admin.

Bagaimana jika Hamas tidak meroket Israel (yang merupakan reaksi atas penjarahan Sheikh Jarrah dan pelecehan al Aqsa)? Apa mereka tidak kasihan pada warga Gaza?

Hipotesisnya: Israel tidak akan menyerang Gaza sehingga tidak akan ada kematian ratusan anak kecil tak berdosa di Gaza.

Sayangnya, kata Ian Pappe dan Finkelstein, hipotesis seperti itu tidak terbukti sebab Israel suka cari-cari alasan. Tahun 2009 misalnya. Meski masih masa perjanjian damai, Israel yang baru saja dipermalukan oleh Hizbullah memang merencanakan menyerang Gaza sebagai upaya menyelamatkan muka pemerintah di depan rakyatnya. Skandal itu bocor, sempat ramai dan mencoreng muka pemerintah zionis. Keyword-nya adalah Goldstone Report.

Hipotesis kedua: Tidak akan terjadi apa-apa alias terwujudnya peaceful atau settling situation.

Sayangnya, orang tidak tahu bahwa sepanjang masa settling situation itu akan penuh insiden-insiden berupa penjarahan rumah warga Arab Palestina, yang terus berlanjut dan ada masanya akan terekskalasi seperti yang sudah-sudah.

The Founding Myths of Modern Israel

Anda pasti pernah menanyakan hal serupa. Kenapa orang-orang Yahudi tidak minta pertanggungjawaban Jerman saja (yang sepuluh tahun bikin hidup mereka sengsara)? Atau Inggris (yang pernah bikin perjanjian khusus dengan tokoh Zionis)? Atau Amerika Serikat (yang tujuh puluh tahun rela memberikan dukungan finansial dan politik secara cuma-cuma)?

Iya, kenapa bukan Amerika?

Amerika Serikat adalah salah satu negara yang underpopulated. Meski jumlah penduduknya sudah lebih dari tiga ratusan juta, luas daratannya mencapai 9,8 juta km2. Artinya, kepadatan penduduknya hanya sekitar 34 orang per km2. Sebagai pembanding, kepadatan penduduk Indonesia mencapai 134 orang per km2.

Amerika juga negara dengan ekonomi terbesar dunia. Mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak juga bukan masalah bagi orang-orang Yahudi yang dikenal pintar. Selain itu, sudah puluhan miliar dolar bantuan luar negeri AS kepada Israel dikucurkan sejak 1948. Ini belum termasuk yang bentuknya pinjaman (sangat lunak), bantuan militer, dan transfer teknologi. Jelas tidak ada bandingannya dengan Marshall Plan yang bentuknya pinjaman senilai “hanya” USD 15 miliar untuk seluruh Eropa.

Ditambah lagi, AS punya komunitas Yahudi yang sangat besar dan komunitas Kristen yang sangat simpatik pada Israel. Mereka bisa hidup dengan nyaman, tenang, rukun, dan damai di sana.

Maka membawa sekitar 10 juta warga Israel ke wilayah AS tentu saja bukan masalah demografi dan ekonomi yang serius-serius amat. Bisa jadi berkah malah.

Masalahnya, pilihan para Zionis untuk menduduki Palestina memang sama sekali bukan karena pertimbangan demografis atau ekonomis (ya tentu saja ada alasan kenapa mereka menyebut diri Zionis kan).

Ulasan terkait motif pendudukan Palestina ini membuka buku The Founding Myths of Modern Israel karya Roger Garaudy.

Tentang Palestina

Perhatian saya soal Palestina mungkin baru mulai intens sejak akhir tahun 2008. Tepatnya ketika Operation Cast Lead sedang panas-panasnya. Sebelum itu, tentu saja saya baca berbagai hal tentang apa yang terjadi di Palestina, khususnya tentang Al Aqsha, tapi hampir tidak ada buku “serius” yang saya baca.

Saya baca tentang Nakba, tentang Perang Yom Kippur, Perang Enam Hari, Intifada Pertama dan Kedua, illegal settlement yang terus-menerus terjadi, peristiwa-peristiwa mengerikan seperti Sabra-Shatila dan beberapa buku ngetop seperti karya Karen Armstrong, Robert Garaudy, atau Noam Chomsky.

Tapi ya sudah, itu saja.

Saya tidak sempat mendalami motif, suasana sosial politik, dan argumentasi kedua belah pihak. Saya belum pernah baca buku-buku sejarah yang serius, kecuali sedikit sekali. Saya malu sendiri lihat banyak nonmuslim yang jauh lebih muda tapi jauh lebih fasih dan lebih progresif ketika bicara soal ini, bahkan ketika pendapat mereka sama dengan saya.

Saya malu sendiri mendapati ada orang Yahudi yang luar biasa vokal dalam mengangkat isu ini secara jernih, berulang kali ikut demo di jalanan; sementara saya duduk-duduk saja tidak melakukan apa-apa.

Kemudian datang peristiwa Sheikh Jarrah.

Saya berkesempatan baca latar belakang peristiwa ini, dan mau tidak mau harus membaca lebih banyak, lebih jauh ke belakang. Ini karena membaca berita di media mainstream internasional tidaklah cukup. Banyak sekali propaganda dan kampanye Zionis berseliweran di media massa dan media sosial, sehingga menyulitkan kita melihat persoalan dengan jernih.

Akhirnya selama dua pekan belakangan, masuklah saya ke dalam buku-buku soal Palestina yang sudah lama tersimpan tapi belum dibaca.

Dan insya Allah saya akan berbagi bacaan tersebut di bawah kategori “Palestina”, dimulai dari post ini.

Saya tahu blog ini bukan apa-apa di tengah samudera dunia maya, tapi kalau Anda suatu saat tersasar ke sini, saya harap Anda bisa menemukan perspektif baru yang lebih jernih dan adil dalam memandang Palestina.

Selamat membaca.