resensi

perpustakaan buku

The Book Lounge – April 2022

Saya memaksa diri saya menyelesaikan setidaknya dua buku setiap bulan dari berbagai macam genre. Berikut ini catatan ringkas dari buku yang saya baca selama bulan April 2022.

The Psychology of Money – Morgan Housel

Saya yakin Anda kemungkinan besar sudah pernah membaca buku ini. Saya kira ini adalah salah satu must read bagi Anda atau anak-anak Anda. Tidak semua orang harus belajar kalkulus, memahami data science dan advanced machine learning, atau analisis kuantitatif pasar modal. Tapi semua orang harus mampu mengelola uangnya dengan bijak.

Kalimat terakhir itu terdengar klise. Tapi kalau Anda sudah baca bukunya, Anda akan kaget betapa banyak hal-hal yang kita anggap common sense ternyata nggak common-common banget. Anda juga akan kaget bahwa ternyata kunci sukses mengelola uang dengan bijak bukan terletak pada kecanggihan instrumen keuangan yang kita gunakan, tapi lebih banyak pada bagaimana kita menyikapi uang yang kita miliki.

Hal terakhir yang mengagetkan saya adalah bahwa saya sudah tahu dan mempraktekkan separuh buku ini bahkan sebelum saya membacanya. Sejak awal, saya sudah dikenal orang-orang sekitar saya sebagai orang yang cukup hati-hati dalam mengelola uang. Saya sering bercanda, “Orang yang awalnya hemat terus belajar akuntansi, pas lulus jadi pelit.”

And here I am.

Tentu saja saya tidak menganggap diri saya adalah role model untuk manajemen keuangan keluarga. Saya juga punya kekurangan di sana-sini yang sedang saya perbaiki. Tapi saya bersyukur bisa melihat bahwa so far I can lead a better life than most of my peers thanks to my meticulous money management.

Zero to One – Peter Thiel

Saya yakin buku ini sangat berarti dan memberikan banyak pelajaran bagi orang lain. Tapi bagi orang awam seperti saya, buku ini memberi dua insights penting berikut:

  1. Bagaimana memilih perusahaan berprospek cerah untuk berinvestasi.
  2. Bagaimana memilih ceruk yang tepat agar bisnis kita segera tumbuh.

Bagaimana buku ini mengubah diri saya? Ini contohnya: Saya dulu mengira bisnis makanan adalah bisnis yang nggak ada matinya (selain bisnis pakaian dan tempat tinggal – pangan, sandang, papan). Buku ini membuka mata saya bahwa bisnis makanan/restoran sesungguhnya bukan bisnis yang prospektif. Dalam arti, pertumbuhannya akan lambat sekali. Anda harus bekerja keras bertahun-tahun sebelum menyaksikan bisnis ini menghasilkan uang yang cukup substansial bagi hidup Anda.

Kok gitu? Bukankah setiap orang butuh makan? Ya silakan baca bukunya.

Ten Myths about Israel

Kalau Anda pernah bicara panjang dengan teman yang Zionis (atau simpatisannya), Anda pasti akrab dengan argumen-argumen ini.

  1. Palestina dulunya adalah tanah tak bertuan, dan orang-orang Yahudi (yang merupakan kaum tanpa homeland/kampung halaman) datang untuk memakmurkan tanah tersebut.
  2. Anti-Zionis sama dengan Anti-Semit.
  3. Israel adalah satu-satunya negara demokrasi di dunia Arab.
  4. Israel hanya melakukan agresi untuk mempertahankan diri.
  5. Hamas adalah organisasi teroris.
  6. Orang Palestina, khususnya Hamas, tidak mau diajak berdamai.
  7. Kami sudah memberikan Sinai untuk Mesir, Golan untuk Yordania, sampai Gaza untuk warga Palestina. Berapa banyak lagi yang Anda mau kami serahkan?
  8. Solusi Dua Negara adalah satu-satunya solusi paling realistis dan paling adil dalam konflik Israel-Palestina.

Dan seterusnya.

Begitu terkenalnya argumen-argumen di atas, saya sampai bisa memastikan bahwa Anda pernah membaca atau mendengar hampir semua poin di atas. Masalahnya, menurut Ilan Pappe, argumen-argumen ini terlalu sering diterima begitu saja tanpa tinjauan kritis yang memadai.

Orang-orang bisa begitu saja percaya Hamas adalah organisasi teroris hanya karena AS berpendapat demikian serta menelan begitu saja alasan-alasan yang mereka berikan. Orang bisa cepat sekali memastikan Hamas tidak bisa diajak damai hanya karena mereka menolak Oslo Accord, tanpa memperhatikan alasan keberatan mereka atas perjanjian tersebut.

Orang bisa mudah sekali menerima bahwa Israel adalah satu-satunya demokrasi di dunia Arab hanya karena mereka menyelenggarakan pemilu, punya parlemen, dan mempekerjakan satu hakim etnis Arab (beragama Kristen) di Mahkamah Agung; sambil melupakan begitu banyak undang-undang agraria dan kependudukan yang diskriminatif (kalau tidak bisa dibilang rasis).

The Founding Myths of Modern Israel

Anda pasti pernah menanyakan hal serupa. Kenapa orang-orang Yahudi tidak minta pertanggungjawaban Jerman saja (yang sepuluh tahun bikin hidup mereka sengsara)? Atau Inggris (yang pernah bikin perjanjian khusus dengan tokoh Zionis)? Atau Amerika Serikat (yang tujuh puluh tahun rela memberikan dukungan finansial dan politik secara cuma-cuma)?

Iya, kenapa bukan Amerika?

Amerika Serikat adalah salah satu negara yang underpopulated. Meski jumlah penduduknya sudah lebih dari tiga ratusan juta, luas daratannya mencapai 9,8 juta km2. Artinya, kepadatan penduduknya hanya sekitar 34 orang per km2. Sebagai pembanding, kepadatan penduduk Indonesia mencapai 134 orang per km2.

Amerika juga negara dengan ekonomi terbesar dunia. Mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak juga bukan masalah bagi orang-orang Yahudi yang dikenal pintar. Selain itu, sudah puluhan miliar dolar bantuan luar negeri AS kepada Israel dikucurkan sejak 1948. Ini belum termasuk yang bentuknya pinjaman (sangat lunak), bantuan militer, dan transfer teknologi. Jelas tidak ada bandingannya dengan Marshall Plan yang bentuknya pinjaman senilai “hanya” USD 15 miliar untuk seluruh Eropa.

Ditambah lagi, AS punya komunitas Yahudi yang sangat besar dan komunitas Kristen yang sangat simpatik pada Israel. Mereka bisa hidup dengan nyaman, tenang, rukun, dan damai di sana.

Maka membawa sekitar 10 juta warga Israel ke wilayah AS tentu saja bukan masalah demografi dan ekonomi yang serius-serius amat. Bisa jadi berkah malah.

Masalahnya, pilihan para Zionis untuk menduduki Palestina memang sama sekali bukan karena pertimbangan demografis atau ekonomis (ya tentu saja ada alasan kenapa mereka menyebut diri Zionis kan).

Ulasan terkait motif pendudukan Palestina ini membuka buku The Founding Myths of Modern Israel karya Roger Garaudy.

Menyusuri Jejak Perbankan Syariah di Indonesia

Bank Muamalat berdiri tahun 1991 (tapi baru mulai beroperasi tahun 1992), sebagai “bank bagi hasil” pertama di Indonesia. Ia berjalan bareng dengan disahkannya UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang menandai dimulainya era dual banking system (syariah dan konvensional) di Indonesia. Sebelumnya, hanya ada satu jenis bank di Indonesia, yaitu bank konvensional.

Tentu saja suatu undang-undang tidak ujug-ujug tiba begitu saja. Dalam hal ini, ada beberapa muktamar/kongres Majelis Ulama Indonesia yang bersepakat mendorong pemerintah untuk memayungi legalitas lembaga keuangan yang beroperasi dengan prinsip syariah.

Dari cerita inilah buku Perbankan Syariah di Indonesia bermula.

Perbankan Syariah di Indonesia berkisah mengenai awal mula dan perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia, beserta infrastruktur penunjangnya. Ia juga sedikit membahas teori keuangan syariah, perkembangan industri berdasarkan milestone regulasi terkait perbankan syariah (seperti UU Nomor 23 Tahun 1999, UU Nomor 21 Tahun 2008, dan berdirinya Otoritas Jasa Keuangan), serta infrastruktur pendukung industri ini di Indonesia.

Buku yang ditulis oleh para peneliti Bank Indonesia ini disajikan secara kronologis, dengan berbagai rujukan peraturan perundangan sebagai penanda, sehingga cocok buat Anda yang perlu mengumpulkan data dalam waktu singkat. Tapi di sisi lain, padatnya referensi regulasi itu mungkin terasa membosankan bagi sebagian orang.

Oya, buku ini hanya membahas satu aspek kecil dari ekonomi syariah, yaitu perbankan syariah. Jadi kalau Anda sedang mencari referensi tentang sejarah dan perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia, sepertinya ini buku yang tepat buat Anda. Tapi tidak bila yang Anda harapkan adalah penjelasan komprehensif mengenai sistem ekonomi Islam.

Ini adalah buku yang sama sekali berbeda dengan Iqtishaduna karya Mohammad Baqir ash Shadr yang teoretis itu, misalnya.

Terus kenapa saya baca buku ini?

Saya biasanya membedakan suatu buku yang bicara tentang industri aktual menjadi (1) buku teoretis, dan (2) buku praktis. Tidak ada kategori yang lebih baik dari yang lainnya karena keduanya melayani kepentingan yang berbeda. Dari buku teoretis, saya memahami kondisi ideal dan landasan teori dari suatu regulasi. Dari buku praktis, saya belajar model bisnis, sejarah, isu/tantangan, ketidaksesuaian dengan teori, dan penyebabnya. Keduanya saling melengkapi pemahaman saya tentang apa yang terjadi pada industri perbankan syariah di Indonesia.

Maka saya menganjurkan Anda baca buku ini, khususnya kalau Anda punya minat pada industri perbankan syariah secara detail.

Selamat membaca.

Demokrasi Ugal-Ugalan

Sisa-sisa kolonialisme dan kemudian Perang Dingin membawa AS pada perang sungguhan. Ribuan anak muda Amerika dikirim ke Vietnam untuk pergi berperang. Tak ada yang tahu Amerika akan menghadapi sepuluh tahun yang melelahkan dan penuh kebohongan.

Keresahan ini yang ditangkap The Trial of Chicago 7. Aktivis politik dari kalangan masyarakat sipil dan mahasiswa mencoba menggalang demonstrasi (yang dibungkus sebagai festival musik) di Chicago. Waktu itu Chicago jadi tuan rumah konvensi nasional Partai Demokrat tahun 1968.

Perang, bagi mereka, harus berhenti dan tak boleh ada lagi pemuda Amerika mati sia-sia di luar negeri.

Otoritas setempat digambarkan enggan memberi izin. Meski dalam demokrasi, menyatakan pendapat adalah hak dasar warga negara. Maka konon kabarnya, festival itu hanya dihadiri sepuluh ribu orang.

Demonstrasi berujung ricuh. Polisi menembakkan gas air mata, memukuli demonstran, dan menangkap delapan orang yang dianggap bikin onar. Kisah mereka yang diceritakan film ini.

Tapi pengadilannya ugal-ugalan. Hakim berulang kali terang-terangan memotong hak terdakwa. Hampir seluruh saksi didatangkan oleh jaksa penuntut. Saksi kunci kasus ini pun hanya bisa bersaksi tanpa kehadiran juri. Juri yang dianggap menunjukkan simpati pada terdakwa disingkirkan. Salah satu terdakwa malah sempat beberapa kali bersidang dalam kondisi diikat dan disumpal mulutnya.

Terdakwa terakhir itu belakangan tak terbukti bersalah.