Cepat Puber, Tapi Terlambat Dewasa

Anda pasti pernah baca atau dengar Sobat Rahayu seperti yang ada di gambar berikut setidaknya sekali seumur hidup:

Beberapa intelektual muslim saya lihat sampai merasa perlu ngulik-ngulik penafsiran lain terkait usia Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau menikah dengan Nabi. Kalau upaya itu dilakukan atas nama cinta pada Nabi, semoga ia bernilai kebaikan di sisi Allah.

Sayangnya, catatan para sejarawan muslim yang sudah cukup masyhur tidak menyimpulkan demikian. Yang masyhur memang Nabi menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika usianya belum 10 tahun dan baru berhubungan suami istri beberapa tahun kemudian.

Tapi apa itu berarti kita sampai perlu memandang rendah gaya hidup Nabi sebagai peradaban barbar, terbelakang, sehingga perlu dicerahkan oleh peradaban Barat?

Aduh, kalau Edward Said bisa baca kalimat di atas , mungkin dia bakal ketawa terbahak-bahak dari dalam kuburnya.

Sebab sisa-sisa kolonialisme inilah yang membuat sebagian orang menganggap peradaban asal Barat modern itu sebagai peradaban paripurna, gaya hidup paling baik, atau satu-satunya gaya hidup yang dianut manusia dari dulu sampai sekarang.

Padahal enggak.

Kita mungkin punya persepsi bahwa remaja jaman nabi dulu sama dengan remaja masa kini. Padahal remaja masa kini itu punya masalah: kelewat cepat baligh tapi terlambat ‘aqil.

Masalah anak muda masa kini: cepat puber, tapi terlambat dewasa.

Kita heran melihat para sahabat nabi dulu menikah dan bahkan memimpin satuan militer di usia belasan. Bahkan selisih usia ‘Amr bin ‘Ash dan putranya, Abdullah, radhiyallahu ‘anhuma hanya 11 tahun hijriyah! Artinya, beliau boleh jadi telah menikah di usia 10 tahun.

Padahal ya, dengan segala hormat, biasa saja. Ada cukup banyak sahabat Nabi yang menerima amanah besar di usia belasan kok. Ada beberapa buku terjemahan Indonesia yang membahas soal amanah Nabi bagi sahabat yang berusia dini. Usia yang, kalau sekarang, cari duit aja masih belum bisa.

Oh, kalau Anda nggak bisa diyakinkan dengan kehidupan Nabi dan para sahabatnya sebagai benchmark, mari kenalan dengan sosok berikut ini:

Sumber: Wikipedia

Namanya Christiaan Snouck Hurgronje

Ia pria kulit putih yang ingin menjadikan pendidikan sebagai sarana melanggengkan kolonialisme di Hindia Belanda. Ia menikah empat kali di sini, semuanya dengan perempuan pribumi yang jauh lebih muda. Salah satunya adalah putri penghulu Bandung yang berusia 13 tahun.

Menarik sebenarnya kalau melihat bahwa tidak sampai seratus tahun yang lalu, menikah di usia belasan itu bukan suatu masalah. Dan ini terjadi di berbagai belahan dunia, tidak hanya di Arab saja.

Sebenarnya, usia baligh manusia jaman dulu dan sekarang pun sepertinya masih sama. Anak-anak sekarang masuk baligh di usia 9-12 tahun kan? Artinya, secara biologis, remaja sekarang punya kemampuan reproduksi yang sama dengan remaja zaman dulu.

Yang paling membedakan adalah kedewasaan/’aqilnya. Remaja jaman dulu lebih cepat dewasa secara mental sehingga biasa menerima amanah besar di usia yg menurut kita masih muda.

Kalau Anda cari riset-riset di Google Scholar dengan keyword “child marriage, health” pun isinya efek samping pernikahan dini yang disebabkan kurangnya kesiapan mental sampai kesiapan ekonomi, bukan kesiapan fisik.

Misalnya, pernikahan dini punya relasi erat dengan KDRT, potensi rendahnya akses ke layanan kesehatan, sampai risiko putus sekolah bagi perempuan. Lokasi risetnya pun di negara-negara yang … begitulah. Artinya secara biologis, relatif tidak ada masalah dari pernikahan dini (tentu asumsinya selama pengantinnya sama-sama baligh ya).

Dari sini kan kelihatan masalahnya bersumber dari ketidaksiapan mental atau masalah ekonomi, bukan semata usia/fisiknya. Keberatan utama para periset terkait pernikahan anak adalah soal kesiapan fisik dan mental untuk menikah (bahasa Islamnya: ‘aqil dan baligh). Nah, usia kesiapan menikah inilah bervariasi dari peradaban satu ke peradaban lain.

Memang dalam konteks sekarang, saya sama sekali tidak mendorong remaja buru-buru menikah sedini mungkin. Tapi argumennya erat kaitannya dengan soal ‘aqil itu tadi.

Kalau umurnya sudah 30 tahun tapi saya lihat masih tergantung pada orang tua untuk hal-hal sepele, masih suka main ke sana-sini, atau nggak bisa mengendalikan kecanduannya pada game online, misalnya, saya nggak mungkin anjurkan dia mengemban tanggung jawab lebih besar, seperti menikah.

Sebaliknya, kalau usianya masih belasan tahun tapi sudah cakap dan dewasa, ya kenapa enggak?

Iya, saya tahu bahwa remaja yang jauh lebih dewasa ketimbang peers-nya itu jarang sekali ada. Tapi sikap ideal yang perlu kita ambil menurut saya adalah mendidik anak agar mereka lekas dewasa secara mental dan siap mengemban kewajiban keagamaan akibat sudah masuknya mereka pada masa baligh.

Bukan dengan cara memundurkan usia pernikahan saja. Bukan dengan menakut-nakuti anak-anak muda akan pernikahan dan menormalisasi, atau bahkan meng-encourage mereka, untuk berzina.

Langkah konkretnya gimana? Insya Allah lain kali ya. 🙂

Postscript

Pak Dipa Nugraha menulis soal persepsi usia pernikahan yang sangat banyak dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat akan pekerjaan, sekolah, dan aspek ekonomi lainnya di sini. Beliau juga menulis buku berjudul “Kritik Penelitian Sastra”. Saya sarankan Anda juga membacanya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *