Sisa-sisa kolonialisme dan kemudian Perang Dingin membawa AS pada perang sungguhan. Ribuan anak muda Amerika dikirim ke Vietnam untuk pergi berperang. Tak ada yang tahu Amerika akan menghadapi sepuluh tahun yang melelahkan dan penuh kebohongan.
Keresahan ini yang ditangkap The Trial of Chicago 7. Aktivis politik dari kalangan masyarakat sipil dan mahasiswa mencoba menggalang demonstrasi (yang dibungkus sebagai festival musik) di Chicago. Waktu itu Chicago jadi tuan rumah konvensi nasional Partai Demokrat tahun 1968.
Perang, bagi mereka, harus berhenti dan tak boleh ada lagi pemuda Amerika mati sia-sia di luar negeri.
Otoritas setempat digambarkan enggan memberi izin. Meski dalam demokrasi, menyatakan pendapat adalah hak dasar warga negara. Maka konon kabarnya, festival itu hanya dihadiri sepuluh ribu orang.
Demonstrasi berujung ricuh. Polisi menembakkan gas air mata, memukuli demonstran, dan menangkap delapan orang yang dianggap bikin onar. Kisah mereka yang diceritakan film ini.
Tapi pengadilannya ugal-ugalan. Hakim berulang kali terang-terangan memotong hak terdakwa. Hampir seluruh saksi didatangkan oleh jaksa penuntut. Saksi kunci kasus ini pun hanya bisa bersaksi tanpa kehadiran juri. Juri yang dianggap menunjukkan simpati pada terdakwa disingkirkan. Salah satu terdakwa malah sempat beberapa kali bersidang dalam kondisi diikat dan disumpal mulutnya.
Terdakwa terakhir itu belakangan tak terbukti bersalah.
Tontonan ini mengingatkan saya soal apa yang terjadi di sekitar saya. Dulu pernah ada demo yang dihalang-halangi polisi. Izin kerumunan diberikan hanya setelah adanya tekanan dari banyak pihak. Banyak bus dicegat dan disuruh putar balik. Sebagai respon, sekelompok santri berjalan ratusan kilometer ke Jakarta untuk meng-exercise haknya dalam demokrasi.
Lain waktu, islamis sayap kanan kerap kali dijadikan kambing hitam. Instansi pemerintah nggak perform, pasti gara-gara khilafah. Aparat penegak hukum lumayan galak pada koruptor, dibilang kadrun. Orang-orang berpenampilan makin Islami, puritanisme yang disalahkan.
Anda bisa memperpanjang daftar di atas, tapi tentu saja tidak bijak menuliskannya di sini maupun kolom komentar.
Lama-lama saya kok merasa masalahnya bermuara pada orang-orang yang berusaha bertahan dalam kekuasaan selama mungkin. Masalahnya, terlalu lama berkuasa sepertinya memberi lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Padahal berapa usia kekuasaan? Pejabat hanya memerintah sampai kemudian pensiun. Pengusaha bisa jadi kaya, tapi nanti pasti mati.
Tapi sekali seorang pembesar berlaku zhalim, kezhalimannya seringkali membekas terlalu lama.
Makanya di alam demokrasi, pejabat publik (idealnya) diikat sedemikian rupa supaya tak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Wewenangnya dibatasi, begitu juga masa jabatannya.
Atau jangan-jangan benar kata teman saya. Kalau mau berkuasa selamanya, jadi khilafah aja sekalian!