Fractional Reserve vs Full Reserve Banking System

Sebagaimana yang telah Anda ketahui, lembaga perbankan beroperasi dengan cara mengumpulkan dana dari masyarakat (bisa berupa tabungan, deposito, dan sebagainya), kemudian mengelola dana tersebut dengan cara memberikan pembiayaan pada pihak lainnya. Return dari pembiayaan tersebut kemudian diakui sebagai revenue lembaga perbankan.

Fractional reserve banking system adalah suatu sistem perbankan di mana bank wajib mencadangkan dana nasabah dalam jumlah tertentu yang ditetapkan otoritas (biasanya oleh bank sentral melalui Giro Wajib Minimum). Let’s say jumlahnya 10%. Maka kalau bank punya Rp100 miliar di rekeningnya, setidaknya Rp10 miliar harus disimpan, dan maksimal Rp90 miliar boleh dikelola melalui kegiatan pembiayaan perbankan. Ilustrasinya begini.

Bank sentral Wakanda memproduksi uang untuk memenuhi kebutuhan pembayaran di negeri tersebut. Caranya, bank sentral membeli surat-surat berharga yang dimiliki bank umum/nasional di Wakanda, salah satunya Bank Rajariba. Uangnya ditransfer ke Bank Rajariba, bank sentral dapat surat berharga bank tersebut.

Neraca pada Bank Rajariba (Gregory Mankiw; Macroeconomics)

Seseorang bernama Axel kemudian datang ke Bank Rajariba untuk mendapatkan kredit guna membangun fasilitas tambang di Kalimantan. Mengingat aturan fractional reserve itu tadi, katakanlah jumlah pinjamannya pas senilai Rp90 miliar. Uang ini digunakan untuk beli tanah, beli mesin, dan membayar gaji pegawai. Tentu saja pemilik tanah, juragan mesin, dan para karyawan tidak mau menyimpan uang sebanyak ini dalam bentuk tunai. Mereka minta uangnya ditransfer ke Bank Kayariba. Kebetulan bank mereka bertiga sama. Maka berpindahlah uang Rp90 miliar itu tadi dari Bank Rajariba ke Bank Kayariba. Berikut ilustrasinya.

Neraca pada Bank Rajariba. (Gregory Mankiw; Macroeconomics)

Seseorang bernama Bossman datang ke Bank Kayariba untuk dapat pinjaman guna beli armada untuk perusahaan otobusnya. Dengan proses yang sama, Bosman dapat pinjaman sejumlah Rp81 miliar dari Bank Kayariba. Uang itu kemudian ditransfer ke pemilik rekening Bank Sukariba untuk membeli bus, membangun garasi, membeli suku cadang, dan membayar gaji pegawai. Berikut Ilustrasinya.

Neraca pada Bank Sukariba. (Gregory Mankiw; Macroeconomics)

Coba Anda perhatikan lagi baik-baik ilustrasi di atas. Berapa uang yang diberikan bank sentral pada bank pertama? Rp100 miliar.

Berapa uang yang diklaim dimiliki oleh seluruh aktor dalam proses selanjutnya? Mari kita hitung satu-satu.

Uang yang dimiliki para nasabah Bank RajaribaRp100 miliar
Uang yang dimiliki pemilik tanah, pedagang mesin, dan para pegawai yang nasabah Bank KayaribaRp90 miliar
Uang yang dimiliki pabrik bus, kontraktor pembangunan garasi, pedagang suku cadang, dan para pegawai jadi nasabah Bank SukaribaRp81 miliar

Sudah ada Rp271 miliar uang yang diakui dimiliki oleh warga Wakanda. Padahal jumlah uang awal yang diberikan bank sentral tadi hanya Rp100 miliar saja.

Oya, tentu saja proses ini tidak hanya berhenti pada bank ketiga saja. Transaksi-transaksi itu terus berputar yang menyebabkan semakin banyak orang yang mengklaim punya uang dalam jumlah tertentu di bank. Dengan kata lain yang lebih canggih: telah terjadi proses penciptaan uang dalam mekanisme fractional reserve banking system ini.

Dalam kuliah-kuliah makroekonomi, konsep ini tidak asing. Rumusnya sederhana, kira-kira begini:

Rumus penggandaan uang (eduCBA)

Dengan rumus tersebut, apabila deposit minimum/required reserve ratio yang ditetapkan adalah 10%, maka multipliernya adalah 1/10% atau 10. Jadi dari uang senilai Rp100 miliar tadi apabila sepenuhnya bisa diserap oleh pasar, akan ada uang beredar paling banyak sejumlah Rp1 triliun, atau bertambah Rp900 miliar(!) dibandingkan dana awal yang tersedia.

Sebagai catatan, uang Rp1 triliun itu tadi sebagian besarnya ya hanya berputar-putar di bank saja. Hanya sedikit yang benar-benar ditarik oleh nasabah. Tadi kita berasumsi bahwa karena jumlahnya besar, para aktor yang kita ceritakan tadi bersepakat bertransaksi lewat perantara transfer bank.

Berapa uang yang benar-benar ada di bank? Ya hanya Rp100 miliar itu tadi. Terus Rp900 miliar sisanya itu tadi apa? Ya hanya janji atau pernyataan dari bank bahwa masyarakat Wakanda secara total bisa mengklaim uang sejumlah Rp900 miliar dari bank.

Lho, jadi dana yang dikumpulkan nasabah itu tidak sepenuhnya ada di bank? Betul sekali.

Apakah model bisnis seperti ini aman? Seberapa aman?

Saya tidak tahu persis seberapa aman. Bank punya hitung-hitungan yang cukup canggih untuk memprediksi berapa banyak jumlah uang tunai yang dibutuhkan nasabahnya pada satu periode tertentu. Sudah sekitar satu abad lamanya hampir seluruh negara di dunia menggunakan sistem ini, dan sepertinya saat ini kita masih baik-baik saja.

Oya, saya tidak mengatakan model bisnis ini bebas risiko. Hitung-hitungan orang-orang pintar di bank itu bisa jadi salah. Kalau salahnya sedikit, bank bisa mencari dukungan likuiditas melalui pasar uang antar bank atau melalui bank sentral. Tapi kalau salahnya banyak, misalnya kalau masyarakat kehilangan kepercayaan pada lembaga perbankan dan memutuskan untuk mengambil seluruh uangnya secara bersamaan, ini baru masalah. Masalah besar.

Ini yang disebut dengan bank run/rush. Kondisi di mana bank tidak memiliki cukup dana yang diminta masyarakat karena dana nasabah yang dititipkan pada mereka sedang dipinjamkan pada pihak ketiga. Kalau masyarakat bisa pulang dengan tenang setelah dengar penjelasan bank bahwa uang mereka sedang dipinjam-pinjamkan pada pihak lain sih, tentu selesai masalahnya. Tapi seringnya kan tidak seperti itu. Ketika masyarakat menganggap stabilitas sistem keuangan sedang di ujung tanduk, orang-orang bakal buru-buru mengamankan uangnya sebelum lenyap karena dikelola orang lain secara ceroboh.

Kondisi ini adalah salah satu pangkal kritik orang-orang anti uang kartal, seperti (sebagian) aktivis Murabitun. Jadi dalam fractional reserve banking system, angka yang tercantum dalam rekening kita ya memang cuma janji bahwa bank akan menyediakan uang dengan jumlah tersebut apabila kita mau menggunakannya. Bukan uang betulan yang disimpan di brankas bank tersebut. Para aktivis anti uang kartal terus bilang, “Uang kita nggak ada harganya! Cuma janji bankir internasional yang bertujuan memperbudak bangsa-bangsa!”

Yaa betul sih. In a sense. Salah satu kritik bagi sistem fractional reserve ini adalah bahwa dia sangat rapuh. Salah sedikit, datanglah krisis. Tapi tentu saja kelemahan sistem ini tidak sebombastis klaim kalangan anti uang kartal. Semakin banyak Anda belajar ekonomi, semain mudah pula Anda mengidentifikasi di mana mereka “terpeleset”, insya Allah.

Oke, kembali ke laptop.

Kritik yang lebih canggih datang dari para ekonom serius dari Amerika Serikat, yang salah satu penandanya muncul di tahun 1939. Sebagaimana Anda ingat, di tahun-tahun ini Amerika Serikat sedang berjuang untuk pulih dari Great Depression 1929. Para ilmuwan dari University of Chicago, Duke University, Yale University, New York University, dan Princeton University kemudian bikin sebuah risalah tipis berjudul A Program for Monetary Reform (Anda bisa download di sini).

Salah satu materi risalah itu adalah tentang Full Reserve Banking System sebagai alternatif Franctional Reserve Banking System yang barusan kita bahas. Apa itu?

Full Reserve Banking System adalah sistem perbankan di mana dana masyarakat yang dihimpun oleh bank sama sekali tidak boleh digunakan untuk pembiayaan bank. Jadi apabila Anda menabung Rp10 juta, ya uang itu harus ada di brankas bank sebesar jumlah tersebut. Bank tidak boleh menggunakan uang itu untuk pembiayaan sebagaimana pada sistem fractional reserve.

Terus dari mana bank dapat keuntungan?

Dua hal. Pertama, fee dari jasa perbankan. Karena Anda titip uang dalam jumlah tertentu, bank mengenakan biaya atas jasa tersebut. Tentu saja jumlahnya bakal jauh lebih besar daripada biaya administrasi bulanan bank yang biasa kita kenal saat ini.

Kok gitu? Rugi dong simpan uang di bank? Oleh sebab itu, bank menyediakan aktivitas kedua: investasi.

Dalam skema investasi ini, nasabah menitipkan dananya ke rekening investasi milik bank. Dinyatakan dengan jelas dalam perjanjian antara bank dan nasabah bahwa uang tersebut akan dipinjam-pinjamkan selama jangka waktu tertentu dengan porsi return tertentu. Dengan perjanjian ini, nasabah benar-benar menyadari bahwa selama jangka waktu yang disepakati tersebut, ia tidak bisa mengambil uangnya dari bank. Uangnya “lenyap” sementara untuk dikelola oleh bank.

Lha sampai sini, apa bedanya? Uangnya tetap dipinjam-pinjamkan bukan?

Betul. Tapi bedanya, tidak ada uang yang diklaim bareng oleh para aktor di sistem keuangan. Penciptaan uang akan jauh lebih terkendali, karena peran terbesarnya terletak pada bank sentral, bukan di bank umum/nasional. Jumlah uang beredar akan lebih banyak bergantung pada berapa banyak bank sentral akan mencetak uang untuk memenuhi kebutuhan pembayaran. Efeknya, inflasi akibat peredaran uang yang tidak terkendali akan jauh lebih mudah dikontrol.

Selain itu, risiko terjadinya bank run/rush juga relatif minimal. Apabila Anda simpan uang di rekening tabungan, ya uangnya akan ada di bank sebesar jumlah saldo Anda tadi.

Lantas dari kedua hal tersebut, mana yang lebih baik? Tentu saja …. saya tidak tahu.

Yang perlu dipahami dari ilmu ekonomi (khususnya bagi Anda yang belum pernah belajar ekonomi) adalah bahwa teori-teori ekonomi itu bekerja pada asumsi dan kondisi tertentu. Kebijakan fiskal atau moneter yang baik bagi suatu negara boleh jadi tidak cocok bagi negara lain karena asumsi dan kondisi yang melatarinya tidak terpenuhi.

Model Full Reserve Banking System bisa berhasil di Saudi, Iran, dan Sudan; tapi belum tentu cocok di Indonesia. Saya tidak bilang pasti tidak bisa ya. Tapi untuk bisa berhasil, perlu beberapa asumsi dan kondisi yang perlu kita “samakan” dengan negara lain yang berhasil menerapkannya. Determinan keberhasilan implementasinya misalnya kemauan politik (political will) para pengambil kebijakan, kepercayaan pasar/masyarakat, ketersediaan infrastruktur keuangan/perbankan, dan sebagainya.

Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa sistem perbankan yang sekarang kita kenal itu bukan satu-satunya sistem perbankan yang bisa kita gunakan. Kritik atas sistem tersebut pun tidak datang dari orang asal-asalan. Uraian di atas hanya ilustrasi untuk melihat lebih dekat bagaimana sistem perbankan bekerja dan apa (sebagian) konsekuensinya.

Menunjukkan keunggulan suatu model perlu kerangka teori yang mapan dan hitung-hitungan yang rigorous. Saya bisa submit disertasi hari ini kalau mampu membuktikan keunggulan salah satu di antaranya secara ilmiah.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *