Hedonic Treadmill

Lema ini digunakan untuk menjelaskan kondisi manusia yang cenderung akan kembali pada level kebahagiaan yang sama dalam jangka panjang, terlepas dari peristiwa menggembirakan atau menyedihkan yang mereka alami. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Brickman dan Campbell pada tahun 1971 dan sejak saat itu banyak dikaji ulang dan dielaborasi oleh para peneliti setelahnya.

Gambar di atas rasanya cukup mengilustrasikan konsep ini. Mari asumsikan set points (level kebahagiaan Anda sehari-hari; yang ditunjukkan melalui garis horizontal) ada di angka 30. Katakanlah level ini bisa dikategorikan “tidak bahagia”. Anda secara tidak sadar menetapkan “target” bahwa untuk bisa bahagia sampai di level 70, Anda harus punya gaji bulanan Rp25 juta, misalnya. Ketika kesampaian, tentu saja kebahagiaan Anda melompat sampai level 70. Tapi secara tak sadar, level kebahagiaan Anda lama-lama akan cenderung kembali ke set points semula (level 30) meskipun gaji Anda tetap senilai Rp25 juta.

Oleh karena itu, untuk menjamin level kebahagiaan Anda tetap di level 70, Anda memasang target lebih tinggi: gaji bulanan Rp30 juta. Tapi setelah dapat gaji bulanan di angka segitu, perlahan level kebahagiaan Anda turun lagi seperti sebelumnya. Sampai pada satu titik Anda harus menaikkan lagi target gaji yang lebih tinggi.

Begitu terus berulang-ulang hingga Anda harus terus mengejar target yang kian tinggi begitu target-target sebelumnyanya sudah tercapai. Hanya untuk mempertahankan kebahagiaan di level yang sama.

Sudah terlihat di mana treadmill-nya kan?

Oya, konsep ini tidak melulu bicara gaji. Ia bisa apa saja yang Anda anggap berharga. Terutama apabila Anda hanya menggantungkan kebahagiaan Anda pada hal-hal yang Anda anggap berharga itu.

Saya teringat hedonic treadmill ketika saya menulis soal hidup hemat sebelumnya. Bagi sebagian orang, hidup hemat itu sulit karena gengsi, seperti yang saya tulis dalam post tersebut. Bagi yang lain, ia sulit karena penghasilannya memang terbatas, atau ada anggota keluarga yang harus ia tanggung. Dan bagi sebagian lainnya, hidup hemat juga sulit karena ia terjebak pada hedonic treadmill ini.

Atau dalam kata lain: Banyak maunya.

Hal pertama yang saya pikirkan ketika pertama kali membaca hedonic treadmill adalah: Apakah level kebahagiaan kita memang fixed segitu? Apa ada cara yang diambil untuk meningkatkan level kebahagiaan kita?

Ternyata ada. Riset Kennon dan Sheldon (yang sudah dijadikan buku berjudul Stability of Happiness dan bisa dibaca di sini) menunjukkan bahwa perubahan level kebahagiaan yang tahan lama itu mungkin saja terjadi; bertentangan dengan pandangan lama yang saya jelaskan di paragraf awal. Mereka menunjukkan bahwa set points itu tidak statis. Ia bisa ditingkatkan.

Bagaimana caranya?

Riset tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang punya pilihan perilaku khusus cenderung mengalami peningkatan kebahagiaan/subjective well being yang signifikan dan tahan lama. Pilihan perilaku itu terkait siapa yang mereka pilih sebagai pasangan, menyeimbangkan posisi work-life, meningkatkan keterlibatan pada aktivitas sosial/kemanusiaan, olahraga rutin, dan memilih tujuan/cita-cita hidup yang mulia.

Oke. Ringkasnya, cara kita meningkatkan kebahagiaan yang lebih tahan lama adalah dengan meningkatkan set points kita sendiri. Tapi cara meningkatkan set points itu ternyata bukan dengan cara meraih target-target yang kita lekatkan faktor kebahagiaan kita di sana. Target-target itu justru tidak terlalu banyak berhubungan dengan kebahagiaan kita pada jangka panjang.

Riset Mochon, Norton, dan Ariely (2007) berjudul “Getting off the hedonic treadmill, one step at a time” menyebutkan beberapa aktivitas kecil (tapi rutin) justru bisa berperan lebih baik dalam meningkatkan level subjective well being dalam jangka panjang. Dalam riset tersebut, aktivitas-aktivitas kecil itu diwakili oleh ibadah ritual dan olahraga rutin.

Jadi kata kuncinya: aktivitas kecil dan rutin.

Rasanya ada satu hal lagi yang belum dirangkum oleh riset-riset yang saya sebutkan di atas: sering-sering mengucap syukur. Syukur memenuhi kriteria aktivitas yang berpotensi meningkatkan kebahagiaan yang saya sebutkan di atas. Ia adalah aktivitas keagamaan/spiritual. Ia juga merupakan hal kecil; tapi bisa dilakukan berulang-ulang. Ribuan kali sehari kalau perlu.

Bagi saya pribadi, memantik syukur dimulai dari menikmati dan menyebut-nyebut hal yang sudah saya miliki atau berhasil saya raih.

Saya mungkin belum punya mobil. Tapi saya punya anak-anak yang aktivitas sehari-harinya membahagiakan saya. Gaji saya mungkin bukan yang paling besar dibanding teman-teman sebaya saya, tapi saya bisa bekerja dari rumah, terutama di masa pandemi begini, dan bisa menghabiskan banyak waktu dengan keluarga.

Mengingat-ingat nikmat itu (sambil menyebut-nyebutnya dalam percakapan dengan istri) rasanya menghangatkan hati. Ada anugerah-anugerah luar biasa yang biasanya tak kita sadari dan ia hanya bisa kita nikmati kalau kita embrace anugerah tersebut dengan penuh kesadaran.

Saya kira inilah mengapa orang menasihati kita dengan “melihat ke bawah” untuk menerbitkan rasa syukur. Seringkali kita tidak menyadari nikmat yang telah lama kita miliki. Saking lamanya, kita menganggap bahwa nikmat itu entitled pada diri kita. Sehingga beberapa orang perlu diingatkan dengan kurangnya nikmat orang lain untuk bisa menerbitkan syukur. Tapi kalau Anda sudah sadar akan nikmat itu dan tidak butuh cara ini sih bagus sekali.

Jadi sudahkah Anda bersyukur hari ini?

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *