Mengapa Bank Syariah Lebih Mahal dari Bank Konvensional? (2)

Saya juga mengasumsikan Anda sudah baca artikel sebelumnya. Jadi mari kita langsung mulai.

Daftar Isi

Cost of Deposits

Dana pihak ketiga (selanjutnya disebut DPK saja) adalah uang titipan masyarakat yang selanjutnya dapat digunakan bank untuk pembiayaan. Return dari DPK ini yang disebut cost of deposits, sebagaimana sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya.

Seperti yang Anda ketahui, bunga/return tabungan dan giro itu kecil sekali. Jauh lebih kecil dibandingkan deposito. Maka dari sudut pandang bank, tabungan dan giro disebut dana murah sementara deposito termasuk dana mahal. Semakin banyak porsi dana murah, semakin ringan beban bank dalam membagi keuntungan pada para nasabahnya.

Diolah dari Statistik Perbankan Indonesia Desember 2020

Simpanan berjangka termasuk dana mahal. Data di atas menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, komposisi simpanan berjangka bank syariah selalu lebih banyak daripada bank konvensional. Artinya, bank syariah harus memberikan imbal hasil lebih banyak kepada nasabah yang menitipkan uang pada mereka.

Posisi dana mahal ini sedikit dikompensasi dengan level margin yang ditawarkan bank syariah pada nasabahnya. Bank syariah belum pernah bisa memberikan margin yang lebih tinggi dibandingkan bunga yang ditawarkan bank konvensional pada nasabah yang menitipkan uang pada mereka.

Diolah dari Statistik Perbankan Indonesia Desember 2020

Apa penyebab struktur DPK bank syariah lebih mahal?

Salah satunya adalah karena bank konvensional punya infrastruktur lebih baik dalam menjaring dana murah yang berupa tabungan dan giro itu. Beberapa bank konvensional besar sudah eksis bahkan sejak sebelum republik ini berdiri, sementara bank syariah tertua di Indonesia baru ada tahun 1992. Ini menyebabkan bank konvensional bisa punya cabang di mana-mana, bahkan sampai ke kota kecil dan desa-desa. Bagi para nasabah yang tidak tinggal di pusat kota, tentu saja bakal lebih mudah punya rekening tabungan di bank konvensional yang dekat dengan tempat tinggal mereka.

Statistik Perbankan Indonesia edisi Desember 2020 menyebutkan bahwa bank umum syariah hanya punya 1.856 kantor, sementara bank konvensional punya 30.874(!) kantor di seluruh Indonesia.

Ini adalah salah satu latar belakang disahkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.05/2016 yang memungkinkan penggunaan bank syariah sebagai bank penyalur gaji bagi PNS dan TNI/Polri. Rekening gaji adalah salah satu bentuk dana murah yang bisa digunakan untuk mendukung efisiensi operasi industri perbankan syariah. Menteri BUMN juga baru-baru ini ikut mendorong penggunaan bank syariah sebagai bank penyalur gaji bagi pegawai BUMN melalui surat buat direksi BUMN berikut.

Faktor Pasar

Dalam banyak kesempatan, pricing bank syariah (dan bank konvensional) mengikuti pricing kompetitornya. Seorang pejabat teras bank syariah terbesar Indonesia pernah menyampaikan pada kami di kantor bahwa saking ketatnya persaingan itu, ketika suatu bank mengubah harga, tak lama kemudian bank kompetitornya ikut mengubah harga yang sedikit lebih murah dari harga bank tersebut.

“Perang harga” ini tentu saja tidak terbatas pada bank konvensional. Bank ungu yang pertama murni syariah itu pernah membanting harga murabahah untuk kredit pemilikan rumah sampai (kalau saya tidak salah ingat) 4%. Iya, 4% flat untuk 15-20 tahun! Margin simpanan deposito mereka saja lebih mahal dari itu. Aksi ini, sayangnya, belum berhasil memperbaiki kinerja keuangan bank ungu secara signifikan.

Bukankah perang harga seharusnya membuat pricing perbankan jadi lebih murah?

Tidak begitu kalau mereka sama-sama mempertahankan level harga setinggi mungkin, tapi tidak lebih tinggi daripada kompetitornya.

Kendala Arus Kas

Kredit pemilikan rumah di bank syariah biasanya menggunakan tiga akad berikut: murabahah (ini yang paling banyak), musyarakah mutanaqisah (selanjutnya disingkat jadi MMQ), dan ijarah muntahiya bi tamlik (selanjutnya disingkat jadi IMBT). Struktur pembiayaan ini juga menyimpan kendala.

KPR yang lebih banyak menggunakan murabahah menyulitkan bank syariah dalam mengelola arus kasnya. Apabila bank perlu dana ekstra dalam waktu dekat, KPR murabahah tersebut tidak bisa disekuritisasi melalui efek beragun aset, misalnya. (FYI Anda bisa cek daftar efek beragun aset di sini; sampai artikel ini ditulis, kita belum punya satu pun EBA Syariah)

Mengapa? Ringkasnya, karena bank-bank syariah tersebut sampai dengan akhir 2020 lalu belum memenuhi berbagai persyaratan untuk menerbitkan efek beragun aset. Kendala regulasi tersebut terutama terkait dengan Peraturan Bank Indonesia nomor 14/26/PBI/2012 yang ringkasnya sebagai berikut.

Pertama, bank yang diperbolehkan melakukan sekuritisasi aset adalah bank BUKU 3 dan BUKU 4. Sementara sampai dengan akhir 2020, hanya Bank Syariah Mandiri yang masuk BUKU 3. Tidak ada satu pun bank umum syariah yang masuk BUKU 4.

Terus kenapa Bank Syariah Mandiri tidak juga ambil langkah EBA Syariah untuk memenuhi kebutuhan dananya? Karena ada masalah kedua.

Kedua, tidak semua aset keuangan bisa disekuritisasi. Hanya aset yang masih menjadi milik bank yang dapat disekuritisasi. Dalam hal ini, KPR dengan akad murabahah tidak bisa disekuritisasi karena kepemilikannya telah berpindah ke para nasabah. Yang bisa disekuritisasi adalah KPR dengan akad MMQ dan IMBT di mana bank masih punya sekian persen porsi kepemilikan selama tenor cicilan.

Kalau begitu, bukankah solusinya adalah mengurangi porsi murabahah dan memperbanyak MMQ dan IMBT?

Tentu tidak sesederhana itu. Salah satu “jualan” bank syariah adalah bahwa cicilannya flat sampai akhir tenor demi menghindari gharar. Promosi MMQ dan IMBT untuk pembiayaan KPR yang tidak menggunakan cicilan flat di tengah literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia yang belum begitu baik bakal membingungkan nasabah dan berpotensi merusak reputasi bank syariah itu sendiri.

Sebelum ikut kelas Islamic Finance Qualification dulu, saya juga beranggapan KPR (dan pembiayaan lainnya untuk keperluan konsumsi) di bank syariah harusnya hanya menggunakan murabahah.

Kinerja Keuangan: Beberapa Indikator Terpilih

Kemampuan pricing suatu bank boleh jadi dipengaruhi oleh kinerja keuangannya pada tahun berjalan. Kalau kinerjanya bagus, bank tersebut lebih mungkin dan lebih mampu memberikan pricing yang kompetitif. Begitu juga sebaliknya.

Seluruh data berikut diolah dari Statistik Perbankan Indonesia edisi Desember 2020 yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan. Oya, yang dimaksud “bank syariah” di sini terbatas pada Bank Umum Syariah. Kinerja Unit Usaha Syariah diakui sebagai kinerja bank konvensional.

1. Capital Adequacy Ratio (CAR)

Capital Adequacy Ratio atau Rasio Kecukupan Modal adalah perbandingan antara jumlah modal dengan aset tertimbang menurut risiko. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam mengelola kerugian yang mungkin dihadapi, terutama dalam memenuhi kewajiban terhadap deposan dan kreditur lainnya. Rasio ini diperlukan otoritas untuk melindungi nasabah dari risiko dalam industri perbankan, serta menjaga stabilitas sistem keuangan secara komprehensif.

Semakin tinggi angkanya, semakin mampu pula suatu bank dalam menutupi kerugian yang dialami bank. Sehingga ketika rasionya tinggi, dana nasabah bisa dianggap aman.

CAR minimal bank harus berada di level 8-14%, tergantung peringkat profil risikonya, sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK Nomor 11 /POJK.03/2016.

Diolah dari Statistik Perbankan Indonesia Desember 2020

Berdasarkan data di atas, CAR bukan isu sensitif saat ini bagi bank syariah meski nilainya masih di bawah CAR bank konvensional.

2. Return on Assets (RoA)

Return on Assets adalah indikator mengenai seberapa mampu suatu perusahaan menghasilkan laba dari total aset yang mereka miliki. Semakin tinggi nilainya, semakin efisien perusahaan tersebut dalam menggunakan resource-nya.

Maka, semakin tinggi nilai RoA, semakin baik kinerja keuangan bank tersebut. Kalau nilainya minus sebagaimana grafik di bawah, artinya di tahun itu, bank mengalami kerugian.

Diolah dari Statistik Perbankan Indonesia Desember 2020

3. Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)

Indikator lain yang dapat mencerminkan tingkat efisiensi bank adalah BOPO. BOPO, sesuai namanya, adalah perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional. Bila nilainya kurang dari 100, maka biaya operasional lebih kecil daripada pendapatan operasionalnya. Jadi, semakin kecil nilai BOPO, semakin baik.

Yang dimaksud pendapatan operasional adalah seluruh pendapatan bank yang terkait dengan core business-nya yang berupa bunga/margin. Sementara beban operasional adalah seluruh pengeluaran yang digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan usaha bank. Beban operasional meliputi beban bunga, beban kerugian komitmen dan kontinjensi, beban penghapusan aktiva produktif, dan sebagainya.

Diolah dari Statistik Perbankan Indonesia Desember 2020

Penghapusan aktiva produktif itu terkait erat dengan NPL/NPF yang akan dibahas berikut.

4. Non Performing Loan/Non Performing Financing

NPL/NPF intinya adalah jumlah pembiayaan yang tidak dapat terbayar pada waktunya. Untuk keperluan pengelolaan risiko, kualitas kredit perbankan dibagi jadi lima kategori kolektabilitas. Kategori tersebut adalah Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Dua yang pertama dikategorikan Performing, sementara tiga berikutnya dikategorikan Non-Performing.

Sebagaimana saya sebutkan di artikel sebelumnya, NPL/NPF adalah salah satu faktor penentu tingkat pricing bank syariah yang lebih mahal daripada bank konvensional di Malaysia. NPL/NPF memang intuitively sangat berpengaruh pada kinerja finansial suatu bank. Penurunan 1% saja dari NPL/NPF bakal berpengaruh besar pada tingkat keuntungan bank tersebut.

Diolah dari Statistik Perbankan Indonesia Desember 2020

Pergerakan NPF tersebut seolah mengkonfirmasi simpulan riset Laily dan Irfan. NPF pada 2016 dan 2017 tinggi sekali, dan baru turun signifikan pada 2018. Anda juga telah menjumpai melalui beberapa grafik di atas bahwa bahwa pada 2016 dan 2017 itu, Return on Assets dan Net Operating Margin bank syariah masih minus, BOPOnya lebih dari 100, dan Financing to Deposit Ratio-nya cukup tinggi.

Maka secara intuitif boleh dibilang ada kaitan signifikan antara NPF dan kinerja keuangan suatu bank.

Dari data di atas, kita juga bisa menyimpulkan bahwa bank syariah harus menanggung biaya ekstra karena kredit macet nasabah-nasabahnya lebih banyak daripada bank konvensional selama lima tahun terakhir. Kabar baiknya, rasio NPF terus turun dari tahun ke tahun, bahkan di masa pandemi.

5. Finance to Deposits Ratio (FDR) dan Loan to Deposits Ratio (LDR)

Loan to Deposits Ratio digunakan untuk mengukur kinerja bank sebagai financial intermediary sekaligus mengukur likuiditas bank. LDR yang terlalu tinggi memberikan sinyal bank mengalami kesulitan likuiditas, karena sangat banyak pinjaman yang disalurkan bank pada suatu waktu. LDR yang terlalu rendah menunjukkan bank gagal menyalurkan pembiayaan dalam jumlah yang optimal.

Sementara Finance to Deposits Ratio, gampangnya, adalah LDR versi syariah (sama seperti NPL/NPF di atas). Namanya berbeda karena bank syariah tidak mengenal pinjaman, tapi pembiayaan dengan berbagai bentuk akad/kontrak.

Diolah dari Statistik Perbankan Indonesia Desember 2020

Sedikit yang bisa dikatakan terkait informasi FDR dan LDR di atas selain bahwa bank konvensional mampu menyalurkan pinjaman/pembiayaan lebih banyak daripada bank syariah.

Simpulan

Melalui beberapa perbandingan di atas, kita bisa sementara menyimpulkan bahwa perbankan konvensional bisa beroperasi lebih efisien daripada perbankan syariah. Hal ini memberikan keleluasaan bagi mereka dalam menentukan pricing pembiayaan sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi bank syariah.

Beberapa penyebabnya adalah masalah struktural seperti ketidakmampuan bank syariah menyamai efisiensi bank konvensional, keterbatasan jangkauan bank syariah ke para nasabahnya, keterbatasan pengelolaan kas jangka pendek karena nature dari bank syariah itu sendiri, sampai kendala regulasi.

Kendala di atas diharapkan bakal bisa diselesaikan melalui pembentukan Bank Syariah Indonesia. Dengan struktur modal yang lebih besar, BSI diharapkan bisa bersaing dengan bank konvensional dalam menyediakan pembiayaan yang lebih efisien. Tentu pembentukan BSI tidak otomatis menyelesaikan masalah. Jalannya masih panjang, tapi setidaknya beberapa masalah yang di atas bisa lebih mudah diatasi.

Kalau kita mau bank Syariah lebih “ramah” pada nasabahnya dalam jangka waktu relatif pendek, ya kita perlu menyelesaikan berbagai kendala di atas terlebih dahulu. Bank syariah terutama harus bisa beroperasi lebih efisien. Kalau tidak, bank syariah akan tetap seperti ini. Atau malah lebih buruk lagi.

Tapi semoga yang buruk-buruk itu tidak terjadi.

Artikel terkait:

  1. Apa Bank Syariah Harus Murah?
  2. Mengapa Bank Syariah Lebih Mahal dari Bank Konvensional? (1)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *