Saya ingin meminjam riset Laily Dwi Arsyanti dan Irfan Syauqi Beik berjudul “Why The Rate of Financing In Islamic Banks is High?” untuk menjawab pertanyaan ini. Mereka mendapati bahwa biaya-biaya yang ditanggung institusi perbankan mempengaruhi pricing pembiayaan syariah.
Mengapa demikian? Mereka tidak secara eksplisit menjelaskan alur berpikirnya, tapi berikut ini dugaan saya.
Perbankan syariah adalah badan usaha sebagaimana perusahaan lainnya. Supaya untung, pendapatan mereka harus lebih besar daripada beban/biayanya. Pendapatan bank syariah adalah selisih/margin dari transaksi (baik murabahah, musyarakah, mudharabah, dst), sementara beban/biayanya adalah seluruh pengeluaran bank agar ia tetap dapat beroperasi.
Riset Laily dan Irfan mengambil tiga komponen biaya sebagai bahan evaluasi: cost of deposits, biaya overhead, dan tingkat non performing financing yang diambil dari tiga bank konvensional, tiga bank umum syariah, dan satu unit usaha syariah bank konvensional. Seluruh bank yang menjadi obyek studi beroperasi di Malaysia.
Rinciannya, bank konvensional diwakili oleh Malayan Banking (Maybank) Bhd, AmBank Bhd, dan Public Bank Bhd. Bank syariah diwakili oleh AmIslamic Bank, Bank Islam Malaysia Bhd, dan Bank Muamalat Malaysia. Adapun unit usaha syariah diwakili oleh Maybank Syariah.
Mari kita bahas satu-satu.
Cost of Deposits
Ini adalah rata-rata return yang diberikan kepada nasabah atas uang yang mereka titipkan di bank. Biaya deposit ini bisa dibagi jadi dua: dana murah dan dana mahal. Secara intuitif kita bisa tahu bahwa dana murah adalah jenis simpanan yang return-nya rendah. Contohnya adalah rekening tabungan dan giro yang kalau di Indonesia, nilainya sekitar 0,25%-2% pertahun. Sementara contoh dana mahal adalah deposito yang bunganya sekitar 3,25%-3,75% saat tulisan ini diterbitkan.

Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa return yang didapat nasabah bank syariah rata-rata lebih kecil daripada bank konvensional.
Overhead/Capital Ratio
Rasio ini didapatkan dari membagi biaya overhead dengan modal. Rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi suatu bank. Semakin kecil nilainya, semakin efisien bank tersebut.

Dari data ini kita bisa menyimpulkan bahwa bank syariah sedikit lebih efisien daripada bank konvensional. Tapi tanpa Maybank Syariah, yang merupakan unit usaha syariah dari Maybank, efisiensi itu jatuh jadi jauh lebih buruk ketimbang bank konvensional.
Non Performing Loan/Non Performing Financing
NPL/NPF adalah rasio adanya pembiayaan yang macet dibandingkan total pembiayaan yang disalurkan. Semakin tinggi angkanya, semakin tinggi pula pembiayaan yang tidak berhasil diselesaikan. Di sinilah bank syariah menemui kendala. Rata-rata NPF bank syariah adalah sebesar 11,06% dan NPL bank konvensional adalah 9,08%. Lagi-lagi, tanpa Maybank Syariah, NPF bank syariah menjadi 12,76%.

Laily dan Irfan kemudian, meski sangat terkesan terburu-buru, menyebutkan level NPF sebagai penyebab tingginya pricing bank syariah.
Namun, Laily dan Irfan boleh jadi ada benarnya. Dasar penghitungan non performing financing adalah seluruh dana yang disalurkan untuk keperluan pembiayaan. Nilai dana ini secara nominal luar biasa besar. Sedikit kenaikan persentase NPL/NPF berdampak besar pada tingkat keuntungan/kerugian bank tersebut.
Agar kita lebih mampu membayangkan ukuran pembiayaan bank-bank tersebut, mari simak data berikut.
Kredit yang disalurkan Bank Mandiri selama 2020 (termasuk anak usahanya) adalah senilai Rp 794 triliun. Apabila ada 5% dari dana tersebut yang macet, maka nilainya adalah Rp 39,7 triliun. Jumlah ini tentu saja bakal banyak mempengaruhi kinerja keuangan bank tersebut, mengingat laba setelah pajak Bank Mandiri selama 2020 adalah senilai Rp 17 triliun. Artinya, dengan non performing loan yang bertambah 5% saja, Bank Mandiri yang semula untung akan menanggung kerugian Rp 22,7 triliun.
Kalau Bank Mandiri sampai merugi sebesar itu, saya sarankan Anda untuk pindah ke Malaysia atau Singapura karena kita tahu negara ini tidak sedang baik-baik saja.
Sebagai tambahan, laporan keuangan Bank Mandiri menyebutkan total beban bunga dan beban syariah adalah sejumlah Rp 30 triliun setahun, serta beban operasional lainnya senilai Rp 40 triliun.
Namun, sebagaimana saya tulis tadi, cara pengambilan simpulan seperti ini adalah terburu-buru. Kita setidaknya perlu menghitung seberapa signifikan peranan NPL/NPF bagi bank dengan jumlah sampel yang cukup. Yang saya jelaskan melalui paragraf di atas semata untuk memberikan gambaran agar kita bisa membayangkan posisi NPL/NPF bagi suatu bank.
Demikian.
Artikel terkait:
1. Apa Bank Syariah Harus Murah?
2. Mengapa Bank Syariah Lebih Mahal dari Bank Konvensional? (2)
Pingback: Mengapa Bank Syariah Lebih Mahal dari Bank Konvensional? (2)
Pingback: Apa Bank Syariah Harus Murah?