Jawaban resminya: karena (1) negara menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, dan oleh sebab itu negara perlu memberikan jaminan kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat; dan (2) belum semua produk yang beredar di masyarakat terjamin kehalalannya.
Alasan di atas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Tapi bukankah makanan haram itu jauuuuuuh lebih sedikit ketimbang makanan halal? Bukankah menghindari yang sedikit itu mudah? Lantas kenapa menyusahkan diri dengan sertifikasi halal?
Menghindari yang sedikit memang mudah. Apabila hanya sedikit orang di suatu negara yang menderita cacar atau polio, kita tentu enteng saja keluar rumah tanpa takut tertular kedua penyakit tersebut bahkan tanpa vaksinasi sekalipun.
Analogi di atas relevan diterapkan ketika kita hanya mengkonsumsi bahan alami. Karena yang diharamkan hanya babi, darah, bangkai, dan barang yang bikin mabuk (plus sedikit makanan lain yang disebutkan dalam hadits); maka kita bisa makan ayam, sapi, kerbau, ikan air tawar, hampir seluruh hewan laut, serta ratusan jenis sayuran dan buah-buahan. Sekali lagi, yang haram itu sedikit; dan yang halal itu banyak.
Tapi beda ceritanya kalau yang kita konsumsi adalah produk olahan.
Mari kita ambil contoh produk makanan/minuman olahan. Mari ambil contoh bahan baku yang lebih spesifik: babi. Ketika wujud babi itu masih berupa bahan alami, tentu saja mudah bagi kita menghindari konsumsi hewan tersebut. Tapi ketika ia sudah diolah menjadi komponen pendukung dari bahan kosmetik, pasta gigi, kapsul obat, pelembut kue, micin, hingga vaksin; menghindarinya tidak semudah itu.

Tunggu. Bukankah ada daftar komposisi makanan yang tercantum pada kemasan? Konsumen bisa saja cek daftar tersebut sebelum membeli kan?
Oke, katakanlah Anda punya kelewat banyak waktu untuk mengecek satu-satu komposisi yang tercantum dalam belanjaan Anda. Tapi biarpun begitu, apa Anda paham dari mana asal perisa minuman atau selongsong sosis yang Anda konsumsi? Kalaupun dituliskan nama komposisi makanan yang mengandung babi, apa Anda yang kebetulan bukan ahli gizi berprestasi tinggi paham bahwa makanan dimaksud mengandung babi?
Contoh praktisnya, kalau Anda beli minuman Alay-Alay rasa stroberi dan melihat tulisan Flv. Strawberry ST1234 AB; Anda tahu apa artinya? Anda tahu apa bahan bakunya? Kira-kira berapa banyak yang paham?

Masalah ini muncul karena pengembangan awal industri pengolahan makanan internasional tidak terlalu memperhatikan aspek kehalalan suatu makanan. Pionir-pionir serta pasar awalnya adalah nonmuslim sehingga industri ini dulu tidak terlalu punya kepentingan untuk menyediakan bahan halal. Ia baru jadi concern ketika kesadaran beragama penduduk di negara-negara muslim meningkat.
Selain itu, beberapa produk pendukung makanan olahan tersebut ternyata cukup efektif dan efisien dalam melayani kebutuhan produksi. Karena level efektivitas dan efisiensinya itulah, penggunaan barang-barang tersebut pada industri pengolahan makanan tersebar secara luas.
Masih ada masalah lain yang akan kita hadapi: kontaminasi produk.
Suatu produsen bisa jadi memproduksi makanan olahan halal yang bersebelahan dengan fasilitas produksi makanan olahan non-halal. Katakanlah keduanya berada di satu atap pabrik yang sama, tapi beda lini produksi. Misalnya, pabrik micin Ajisantoso punya lini produksi A untuk produk micin halal yang dijual di Indonesia, dan lini produksi B untuk produk micin yang akan dijual di Jepang. Karena lini produksinya bersebelahan, tentu saja ada potensi kontaminasi dengan barang haram. Barang yang tercampur barang haram tentu statusnya berubah jadi haram pula, meskipun hanya sedikit.
Oleh sebab itu, kriteria umum makanan halal yang dirilis oleh MUI secara umum mencakup dua hal: Pertama, bahan yang digunakan adalah bahan halal. Kedua, fasilitas dan proses produksi bebas dari kontaminasi barang najis atau haram.
Melalui uraian di atas, kita bisa memahami bahwa sertifikasi halal dilakukan untuk alasan pertama: memastikan kehalalan bahan baku dan proses pengolahan suatu produk.
Selain itu, sertifikasi halal juga melayani alasan kedua yang lebih praktis. Apabila Anda ingin minum Koka Moka, misalnya, Anda yang sedang berada di Jeneponto tidak perlu tanya langsung ke pabriknya di Cibitung untuk tahu komposisisinya. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu sudah diwakilkan pada para Auditor Halal dari Lembaga Pemeriksa Halal seperti Sucofindo, LPPOM MUI, dan Surveyor Indonesia.
Jasa yang diberikan para Auditor Halal itu disebut jasa assurance, atau jasa “memberikan keyakinan”. Ini kira-kira sama dengan jasa yang diberikan Kantor Akuntan Publik. Untuk mengetahui kualitas informasi pada laporan keuangan perusahaan yang sedang minta pembiayaan, para bankir tidak perlu datang sendiri ke kantor pusat suatu perusahaan, minta dokumen-dokumen keuangannya, kemudian menganalisis kesesuaiannya dengan Standar Akuntansi Keuangan. Capek bos.
Kita lanjut ke alasan ketiga. Produk yang nyata-nyata haram, mengandung bahan haram, berstatus syubhat, atau hanya belum diperiksa kehalalannya oleh Lembaga Pemeriksa Halal masih boleh beredar di Indonesia. Produk tersebut tetap bisa dijual di supermarket sampai toko kelontong. Ini yang membedakan pasar Indonesia dengan Saudi, misalnya. Di sana, konon uji kehalalan menjadi satu paket dengan izin edar sehingga hanya produk-produk halal saja yang bisa beredar dan dikonsumsi masyarakat.
Maka kita bisa memahami sertifikat halal ini sebagai jalan tengah dalam menyediakan transparansi bagi konsumen. Di satu sisi, pemerintah tidak mau(?) melarang peredaran barang-barang yang bertentangan dengan nilai hidup seorang muslim, tapi di sisi lain konstitusi mewajibkan pemerintah untuk memfasilitasi kehidupan keagamaan warga negaranya.
Oleh sebab itu, pemerintah menyerahkan keputusan konsumsi itu kepada masyarakat. Konsumen yang ingin mengkonsumsi barang-barang yang telah diuji kehalalannya dapat memilih produk yang telah bersertifikat halal. Konsumen yang tidak bersikap sama ya bisa memilih produk lainnya.
Tentu saja pada kebebasan ini (khususnya dari sisi produsen), berlaku syarat tertentu. Syaratnya terutama adalah masyarakat menerima informasi yang relevan dan cukup untuk bersikap secara merdeka. Dalam hal produk halal, transparansi itu diwakili oleh sertifikat halal yang berfungsi memberi jaminan kehalalan produk tersebut.
Oya, kalau Anda cari tahu alasan aktual dari semua persyaratan kehalalan itu, Anda bakal kaget ketika menjumpai lebih banyak motif ekonomi ketimbang motif ideologis. Jauh sekali dari semangat menuju “negara Islam” seperti ketakutan banyak netizen di luar sana. Jadi untuk sementara waktu ini, Anda yang ketakutan pada konsep ini bisa tenang sedikit. Sedikit.
Tabik.
Pingback: Bukankah Kita Lebih Perlu Sertifikat Non Halal?