Saat kami sedang membahas teori dan praktek perbankan syariah di kelas IFQ beberapa waktu lalu, pengajar kelas tersebut, Pak Farouq Alwyni, sempat menyinggung suatu komunitas di Inggris yang ia temui saat ia masih bekerja di Islamic Development Bank dulu. Komunitas ini mengharamkan penggunaan uang kartal (karena dianggap sebagai salah satu akar penyebab riba, inflasi, dan perbudakan oleh bankir internasional), dan oleh sebab itu menghindari lembaga perbankan dan aktivitas-aktivitas bisnisnya secara total.
Kelompok ini menamakan dirinya Murabitun. Hal unik dari komunitas ini sebenarnya tidak hanya terkait penolakannya pada uang kartal, tapi lebih luas dari itu. Para aktivis Murabitun menganggap zakat sebagai rukun Islam yang runtuh karena tak terpenuhinya syarat-syaratnya. Zakat, menurut mereka, harus dihitung dan dipungut dalam “mata uang Islam”, yaitu dinar. Pungutan ini juga tidak bisa dikelola oleh lembaga amil zakat karena membawa konsekuensi (1) zakat bersifat voluntary, dan (2) menyalahi ketentuan dalam al Quran.
Ketentuan apa itu?
Kata “khudz” dalam surat at Taubah: 103 merupakan fi’il amr pada satu orang saja. Satu orang ini diterjemahkan sebagai amir, bukan lembaga amil zakat yang jumlahnya banyak itu. Mengingat hukum zakat adalah wajib, dan zakat (menurut mereka) harus dipungut oleh seorang amir, konsekuensinya menunjuk seorang amir adalah sebuah kewajiban.
Komunitas ini pertama kali berdiri di Inggris, dekat tanah kelahiran pendirinya, Syaikh Abdalqadir as-Sufi yang asal Skotlandia. Gagasan komunitas ini kemudian menyebar ke Afrika Selatan, khususnya di Cape Town; dan Malaysia, khususnya Kelantan. Di Kelantan, pemerintah setempat bahkan sempat hendak menjadikan dinar dan dirham sebagai alat tukar, meski kemudian segera ditegaskan ulang oleh pemerintah federal Malaysia bahwa satu-satunya legal tender yang berlaku di sana adalah Ringgit Malaysia.
Gagasan komunitas ini juga dibawa ke Indonesia. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu saya baca buku berjudul Ilusi Demokrasi (tentu Anda bisa tebak siapa penulisnya). Buku ini mengulas gagasan-gagasan Murabitun yang saya tuliskan di atas dengan banyak mengutip pendapat para tokoh Murabitun seperti Syaikh Abdalqadar as-Sufi dan Syaikh Umar Ibrahim Vadillo. Nama terakhir ini sangat berperan dalam upaya penerbitan koin dinar dirham di Indonesia dan Kelantan.
Saya tidak ingin berkomentar soal apakah seseorang layak dihukum karena idenya soal ekonomi. Beberapa dari Anda mungkin menganggap ide-ide tersebut kelewat halu. Dan rupanya sangat banyak orang berpendapat demikian sehingga ide untuk menggunakan lagi dinar dan dirham tidak begitu banyak disambut di Indonesia.
Saya hanya ingin bilang bahwa legal tender/alat tukar resmi yang sesuai dengan prinsip Islam tidak melulu harus berwujud dinar atau dirham. Alasannya terutama karena dinar atau dirham bukan mata uang bebas riba, sebagaimana diklaim para aktivisnya. Larangan riba turun ketika alat tukar masa itu masih berupa koin emas dan perak. Sebuah hadits malah menyebutkan emas dan perak, bersama gandum, kurma dan sebagainya sebagai barang ribawi (harus dipertukarkan secara tunai dalam takaran yang sama).
“Tapi uang kertas yang dicetak para bankir internasional ini berperan dalam penciptaan uang yang menggerus kekayaan masyarakat luas!”
Ya kalau koin-koin dinar dan dirham itu nantinya disimpan ke lembaga keuangan yang mengelolanya dengan mekanisme fractional reserve sebagaimana yang kita kenal selama ini, penciptaan uang itu juga tetap akan terjadi.
Maka riba tidak terletak pada wujud alat tukarnya, tetapi pada bagaimana uang itu digunakan/dikelola.
Terakhir, yang sepertinya perlu kita pahami kembali adalah sebuah kaidah fiqh yang menyebut “Hukum asal segala sesuatu adalah boleh/mubah sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”. Dalam hal muamalah, yang dilarang adalah riba, gharar, dan sebagainya; tapi tidak ada larangan menggunakan alat tukar selain emas dan perak. Intinya selama tidak dilarang, boleh-boleh saja Anda bertransaksi dengan cara apa pun yang Anda suka.
Begitu.