Fractional Reserve vs Full Reserve Banking System

Sebagaimana yang telah Anda ketahui, lembaga perbankan beroperasi dengan cara mengumpulkan dana dari masyarakat (bisa berupa tabungan, deposito, dan sebagainya), kemudian mengelola dana tersebut dengan cara memberikan pembiayaan pada pihak lainnya. Return dari pembiayaan tersebut kemudian diakui sebagai revenue lembaga perbankan.

Fractional reserve banking system adalah suatu sistem perbankan di mana bank wajib mencadangkan dana nasabah dalam jumlah tertentu yang ditetapkan otoritas (biasanya oleh bank sentral melalui Giro Wajib Minimum). Let’s say jumlahnya 10%. Maka kalau bank punya Rp100 miliar di rekeningnya, setidaknya Rp10 miliar harus disimpan, dan maksimal Rp90 miliar boleh dikelola melalui kegiatan pembiayaan perbankan. Ilustrasinya begini.

Bank sentral Wakanda memproduksi uang untuk memenuhi kebutuhan pembayaran di negeri tersebut. Caranya, bank sentral membeli surat-surat berharga yang dimiliki bank umum/nasional di Wakanda, salah satunya Bank Rajariba. Uangnya ditransfer ke Bank Rajariba, bank sentral dapat surat berharga bank tersebut.

Tentang Gerakan Nasional Wakaf Uang

Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) adalah salah satu topik terhangat kita pekan lalu. Sebagaimana yang Anda tahu, sebagian besar sentimennya adalah sebagai berikut:

  1. Pemerintah sedang kesulitan dana sehingga hendak menarik dana wakaf dari masyarakat
  2. Ketimbang ambil uang masyarakat, mending ambil uang koruptor
  3. Aspirasi (politik) umat Islam diinjak, uangnya digasak
  4. dan sebagainya.

Dari berbagai sentimen tersebut, sepertinya kita bisa menyimpulkan bahwa respon negatif itu muncul karena:

  1. Minimnya penjelasan mengenai pengelolaan wakaf uang.
  2. Nihilnya kepercayaan sebagian (besar?) masyarakat terhadap pemerintah.

Mari kita mulai dari yang pertama dulu. Bagaimana wakaf uang dikelola? Benarkah uangnya akan masuk ke pemerintah?

Murabitun

Saat kami sedang membahas teori dan praktek perbankan syariah di kelas IFQ beberapa waktu lalu, pengajar kelas tersebut, Pak Farouq Alwyni, sempat menyinggung suatu komunitas di Inggris yang ia temui saat ia masih bekerja di Islamic Development Bank dulu. Komunitas ini mengharamkan penggunaan uang kartal (karena dianggap sebagai salah satu akar penyebab riba, inflasi, dan perbudakan oleh bankir internasional), dan oleh sebab itu menghindari lembaga perbankan dan aktivitas-aktivitas bisnisnya secara total.

Kelompok ini menamakan dirinya Murabitun. Hal unik dari komunitas ini sebenarnya tidak hanya terkait penolakannya pada uang kartal, tapi lebih luas dari itu. Para aktivis Murabitun menganggap zakat sebagai rukun Islam yang runtuh karena tak terpenuhinya syarat-syaratnya. Zakat, menurut mereka, harus dihitung dan dipungut dalam “mata uang Islam”, yaitu dinar. Pungutan ini juga tidak bisa dikelola oleh lembaga amil zakat karena membawa konsekuensi (1) zakat bersifat voluntary, dan (2) menyalahi ketentuan dalam al Quran.

Ketentuan apa itu?

Apa Bank Syariah Harus Murah?

Saya beberapa kali bertemu orang yang bilang bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Di antara argumen yang terselip adalah bahwa margin/cost of fund bank syariah sama mahalnya, atau bahkan lebih mahal ketimbang bank konvensional. Dan oleh sebab itu, mereka bilang bahwa margin bank syariah adalah bunga/riba yang diarab-arabkan saja.

Benarkah begitu? Pertanyaan ini bisa dijawab melalui beberapa uraian berikut.

Letak riba adalah pada akad/kontraknya.

Suatu transaksi dinyatakan sebagai riba apabila memenuhi salah satu atau kedua hal berikut. Transaksi tersebut mensyaratkan adanya (1) pengembalian berlebih atas uang yang dipinjamkan/dipertukarkan karena adanya penundaan (riba nasi’ah); atau transaksi tersebut melibatkan (2) pertukaran barang ribawi yang dilakukan tidak dalam takaran yang sama dan tidak dilakukan secara tunai (riba fadhl).

Kalau bicara riba, acuan kita ya hanya ini saja.

Sebelum melanjutkan topik ini lebih jauh, saya ingin mengingatkan bahwa dalam muamalah, kaidahnya adalah “Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, sampai datang dalil atas pengharamannya”.

Hal ini selaras dengan hadits berikut. Kisahnya tentang saran yang Nabi berikan terkait penyerbukan kurma. Karena suatu hal, saran tersebut tak membuahkan hasil sesuai harapan. Ketika ditanya tentang sarannya itu, Nabi menjawab, “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian”.

Tantangan Industri Produk Halal Indonesia

Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dalam webinar bertajuk “Indonesia Menuju Pusat Industri Halal Dunia” pada 24 Oktober lalu, menyampaikan komitmen ambisius pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat halal dunia. Indonesia, menurutnya, tidak bisa lagi hanya berperan sebagai pasar dan “tukang stempel” produk belaka. Indonesia harus segera ikut meramaikan pasar produk halal global melalui pengembangan sektor industri produk halal.

Ukuran pasar produk halal sendiri cukup serius. Masterplan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024 menyebut industri ekonomi syariah global difokuskan pada sektor konsumtif dan berdaya saing tinggi. Sektor tersebut antara lain makanan, gaya hidup, pariwisata, dan sektor keuangan. MEKSI mengutip estimasi yang menyebutkan bahwa consumer spending masyarakat muslim untuk makanan dan gaya hidup saja diproyeksikan mencapai USD 3 miliar, atau sekitar Rp 42 triliun, pada tahun 2021.

Oleh sebab itu, pengembangan sektor industri produk halal menjadi salah satu program kerja utama Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah. Harapannya, ketika industri produk halal dalam negeri sudah mapan, Indonesia juga mampu mengembangkan pasarnya ke komunitas halal global.

Visi ini adalah tugas yang luar biasa menantang. Sebagai ilustrasi, saya mulanya mengira kendala dunia ekspor Indonesia adalah birokrasi tata laksana ekspor yang rumit. Saya kira birokrasi adalah bottleneck, sehingga begitu birokrasinya efisien arus ekspor akan mengalir deras.

Anggapan saya ini berdasar pada laporan Logistics Performance Index. Laporan tahun 2018 menempatkan Indonesia di posisi 46 dengan skor 3,15. Ini adalah posisi terbaik Indonesia sejak Bank Dunia pertama kali merilis laporan ini tahun 2007. Dari enam indikator (customs, infrastructure, international shipments, logistics quality, tracking and tracing, dan timeliness), customs dan infrastructure mendapat poin kurang dari 3 dari skala 5.

Dua hal ini tentu saja erat hubungannya dengan pemerintah.

Lantas apakah itu artinya pekerjaan rumah kita tinggal memperbaiki birokrasinya saja? Tentu tidak. Masalahnya ternyata jauh lebih kompleks dari itu.