Simulasi APBN

Awalnya saya ingin membuat tulisan lanjutan dari Bagaimana Kita Membiayai Negara Tanpa Pajak. Di tulisan itu, saya menguraikan bahwa kita bisa memanfaatkan zakat maal, zakat perdagangan, zakat profesi, hingga dividen BUMN sebagai ganti pajak. Potensi pendapatannya mencapai Rp 490,5 triliun.

Tentu saja ini tidak cukup menggantikan peran pajak sebagai sumber pendapatan utama negara. Belanja negara di APBN 2020 saja sudah tembus Rp 2000 triliun. Saya ingin menunjukkan pada Anda bagaimana menyusun anggaran dengan informasi yang terbuka untuk publik dan mudah digunakan.

Kita memang bisa merujuk pada APBNnya langsung. Tapi saya merasa perlu memberi penjelasan yang agak panjang bagi Anda yang kurang familiar dengan format APBN kita. Waktu kuliah dulu, untuk memahami seluruh komponen yang ada di APBN, kami butuh kuliah 3 SKS selama satu semester.

Kemudian saya ingat dengan game Simulasi APBN bikinan Kementerian Keuangan. Awalnya saya mengira game ini cukup advanced sehingga mirip dengan Democracy dengan constraints ala Indonesia.

Sayangnya, Simulasi APBN ternyata hanya mengutak-atik belanja negara berdasarkan fungsi saja. Simulasi APBN memaksa kita berasumsi bahwa seluruh uang yang tercantum dalam tiap fungsi tersebut sepenuhnya dibelanjakan untuk kepentingan pelaksanaan fungsi tersebut. Padahal sebenarnya tidak.

Antara Blasphemy dan Kebebasan Berpendapat

Kasus penghinaan atas Nabi dan tindakan balasannya sepertinya masih jauh dari kata usai. Melihat bagaimana reaksi pemerintah Perancis dan negara-negara Eropa lainnya, sedihnya, saya kira kasus ini akan kembali berulang. Argumen negara-negara Eropa tersebut, tentu saja adalah kebebasan berekspresi.

Saya tahu bahwa masalah terbesar dari formalisasi larangan penistaan agama maupun hal-hal sakral lainnya terletak pada batasan-batasannya. Apa saja yang termasuk hal-hal sakral yang tak boleh dinista? Kapan suatu pernyataan dianggap kritik, kapan dianggap menista? Mengingat banyak kelompok masyarakat (termasuk umat Islam) tidak monolitik, apakah bila sedikit saja anggota kelompok masyarakat tersebut tersinggung, ia langsung memenuhi kriteria blasphemy? Ketika kita membatasi apa yang boleh dibicarakan seseorang, bukankah itu berarti pembatasan atas kebebasan berekspresi?

Nyatanya, kebebasan yang kita miliki memang terbatas. Waktu kecil dulu, saya diajari bahwa hak-hak kita dibatasi oleh hak-hak orang lain. Saya yakin Anda juga diajari hal yang sama. Kebebasan untuk mengendarai kendaraan milik kita sendiri, misalnya, dibatasi oleh hak berkendara dengan aman dari sesama pengguna jalan. Jadi hanya karena mesin mobil Anda cukup bagus, bukan berarti Anda bebas kebut-kebutan di jalan raya.

Demokrasi Ugal-Ugalan

Sisa-sisa kolonialisme dan kemudian Perang Dingin membawa AS pada perang sungguhan. Ribuan anak muda Amerika dikirim ke Vietnam untuk pergi berperang. Tak ada yang tahu Amerika akan menghadapi sepuluh tahun yang melelahkan dan penuh kebohongan.

Keresahan ini yang ditangkap The Trial of Chicago 7. Aktivis politik dari kalangan masyarakat sipil dan mahasiswa mencoba menggalang demonstrasi (yang dibungkus sebagai festival musik) di Chicago. Waktu itu Chicago jadi tuan rumah konvensi nasional Partai Demokrat tahun 1968.

Perang, bagi mereka, harus berhenti dan tak boleh ada lagi pemuda Amerika mati sia-sia di luar negeri.

Otoritas setempat digambarkan enggan memberi izin. Meski dalam demokrasi, menyatakan pendapat adalah hak dasar warga negara. Maka konon kabarnya, festival itu hanya dihadiri sepuluh ribu orang.

Demonstrasi berujung ricuh. Polisi menembakkan gas air mata, memukuli demonstran, dan menangkap delapan orang yang dianggap bikin onar. Kisah mereka yang diceritakan film ini.

Tapi pengadilannya ugal-ugalan. Hakim berulang kali terang-terangan memotong hak terdakwa. Hampir seluruh saksi didatangkan oleh jaksa penuntut. Saksi kunci kasus ini pun hanya bisa bersaksi tanpa kehadiran juri. Juri yang dianggap menunjukkan simpati pada terdakwa disingkirkan. Salah satu terdakwa malah sempat beberapa kali bersidang dalam kondisi diikat dan disumpal mulutnya.

Terdakwa terakhir itu belakangan tak terbukti bersalah.

Bagaimana Kita Membiayai Negara Tanpa Pajak?

Beberapa waktu lalu tercetus wacana dari pejabat Kementerian Perindustrian untuk menghapuskan pajak kendaraan bermotor. Wacana ini belakangan ditindaklanjuti melalui usul resmi Menteri Perindustrian kepada Menteri Keuangan. Yang akhirnya ditolak.

Saya yakin ada beberapa pertanyaan bernada skeptis soal usul ini. Tapi mari berprasangka baik dan berasumsi wacana ini sungguh-sungguh tulus dan bukan bagian dari lobi asosiasi industri.

Jadi, dari mana negara mengumpulkan uang untuk menyelenggarakan urusan publik selain pajak?

Beberapa kader Hizbut Tahrir yang tulisannya tersebar di internet, seperti beliau, berpendapat bahwa kita bisa mengurus negara tanpa pajak dan utang. Sayangnya seperti banyak tulisan kader Hizbut Tahrir lainnya, beliau terjebak pada slogan belaka. Belum saya temui hitung-hitungan yang agak rinci dan konkret dari kader organisasi ini sehingga bisa jadi alternatif tawaran kebijakan. Saya coba mengisi ruang ini.

(Kalau Anda pernah baca hitung-hitungan soal itu, silakan drop tautannya di comment)

Baik, kita mulai. Mari kita hitung satu persatu.