Puasa Membaca Berita

“Salah satu kunci produktivitas adalah berhenti rutin membaca berita atau mengecek email.” Kira-kira begitu salah satu nasihat Cal Newport di Deep Work. Tapi bahkan jauh sebelum saya baca buku itu, saya sudah berhenti rutin mengkonsumsi berita terutama di kanal media online.

Kenapa begitu? Saya mau cerita pengalaman saya dulu.

Beberapa tahun lalu, sampeyan tentu masih ingat kasus window-dressing BUMN gede di Indonesia. Saking besarnya, terungkapnya kasus ini membuat BUMN yang semula jadi salah satu peraup keuntungan terbesar jadi penderita kerugian terbesar di tahun itu. Skalanya triliunan.

Kasus ini mulai ramai ketika salah satu komisarisnya menolak menandatangani laporan keuangan yang memuat salah saji itu. Selama seminggu penuh setelah itu, setiap hari ada saja berita soal ini. Tapi selama seminggu baca berita, saya nggak dapat insight apa pun soal ini.

Isi beritanya hanya komentar orang-orang yang dianggap paham akuntansi dan manajemen korporasi. Beberapa artikel bahkan menulis komentar itu secara verbatim sehingga susah sekali membacanya. Masalahnya setidaknya ada dua:

1. Belum tentu para narasumber beneran ahli soal akuntansi. Salah satu pakar manajemen terkenal berkomentar macam-macam yang menunjukkan belio bersedia bicara hal-hal yang nggak belio ketahui.

2. Kalaupun mereka beneran ahli akuntansi, belum tentu mereka sudah baca draft laporan keuangan yang bermasalah itu. Wong laporan keuangannya saja belum di-publish, dan tidak ada satu pun draft laporan keuangan yang beredar. Terus ini komentarnya dari mana? Dasarnya apa? Intinya, kita dijejali berita yang tidak lengkap, terpencar ke banyak artikel demi traffic, dan tidak informatif. Saya sendiri ragu apa wartawannya paham hal-hal yang dia tulis. Tidak hanya pada isu ini saja. Anda bisa mengganti “laporan keuangan” dengan isu “dana haji”, “vaksin”, “jusuf hamka”, dan seterusnya, you name it.

Masalahnya, banyak orang kemudian buru-buru mengambil sikap dari berita yang wagu itu. Ignorance, kemalasan, dan dendam politik elektoral bercampur di isu itu. Maka jangan heran kalau responnya kacau. Bacanya aja capek, apalagi dapat manfaat dari situ.

Sepuluh tahun sebelum berita ini, saya pernah memandu seminar soal media online dengan pemimpin redaksi salah satu media online terbesar Indonesia sebagai narasumbernya. Salah satu pertanyaan saya: Kalau berita itu dipotong dan disebar sedemikian rupa, bagaimana redaksi bisa yakin berita yang relevan dibaca semuanya oleh pembaca dalam sekali duduk? Padahal related articles (yg biasa kita lihat di bawah artikel) itu disusun secara acak berdasarkan keyword, tidak runut.

Saya lupa beliau menjawab apa. Tapi kalau saya lupa, saya bisa yakin bahwa jawabannya tidak memuaskan.

***

Fast forward, datanglah pandemi.

Salah satu yang bikin gemes adalah beberapa media (termasuk yang baru saja saya ceritakan) bikin clickbait seperti “Setelah divaksin, si fulan mati”. Gemes kuadratnya: wartawannya dapat jadwal vaksin gratis di awal-awal.

“Ah ini bukan salah media juga, masyarakat jaman sekarang juga gampang percaya pada random guys talking about shit on youtube sih”

Ya justru itu. Apinya jangan disiram bensin kakak. Masyarakat yang sulit membedakan antara urutan kejadian dan hubungan sebab-akibat harusnya diedukasi, bukan dieksploitasi seperti ini.

Ini karena salah paham soal laporan keuangan gak menyebabkan kerusakan terlalu besar. Paling mahasiswa akuntansi apkiran kayak saya aja yang kesusahan cari bahan nugas, atau investor gurem pasar modal yang boncos. Tapi misinformasi soal pandemi ini urusannya nyawa (sekaligus penghidupan) orang banyak, termasuk orang tua, kerabat, guru, dan para ustadz kita.

Oleh karena itu, saya mengajak rekan-rekan di sini untuk mengurangi frekuensinya mengkonsumsi dan menyebar berita. Soal pandemi, mari bertanya pada otoritas keilmuan yang memadai. Rasah keminter, sungguh. Ada begitu banyak hal yang tidak/belum kita pelajari sehingga untuk hal-hal tersebut, mari serahkan penjelasannya kepada para ahlinya yang sudah belajar jauh lebih dulu dan lebih lama dari kita. Kalau ada beberapa di antara ahli tersebut berbeda pendapat, ya ambil yang jumhur saja. Toh pendapat ahli tersebut sudah terbukti menurunkan kasus di berbagai negara kok. Nanti kalau pandemi ini sudah selesai, ayoklah kita berdebat lagi.

Kita (atau mungkin saya saja ya) sudah lelah dengan pandemi. Sudah cukup mendengar berita kematian para ulama, ustadz, aktivis kemanusiaan, dan orang-orang soleh lainnya.

Peran pemerintah memang besar dalam penanganan pandemi ini. Tapi kegagapan pemerintah itu jangan ditambahi dengan penyebaran info yang bikin kacau, yang bikin bingung. Ini langkah yang bisa dimulai dari mengurangi asupan informasi sepotong-sepotong yang saya ceritakan di atas.

Begitu. Semoga kawan-kawan sehat selalu.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *