Simulasi APBN

Awalnya saya ingin membuat tulisan lanjutan dari Bagaimana Kita Membiayai Negara Tanpa Pajak. Di tulisan itu, saya menguraikan bahwa kita bisa memanfaatkan zakat maal, zakat perdagangan, zakat profesi, hingga dividen BUMN sebagai ganti pajak. Potensi pendapatannya mencapai Rp 490,5 triliun.

Tentu saja ini tidak cukup menggantikan peran pajak sebagai sumber pendapatan utama negara. Belanja negara di APBN 2020 saja sudah tembus Rp 2000 triliun. Saya ingin menunjukkan pada Anda bagaimana menyusun anggaran dengan informasi yang terbuka untuk publik dan mudah digunakan.

Kita memang bisa merujuk pada APBNnya langsung. Tapi saya merasa perlu memberi penjelasan yang agak panjang bagi Anda yang kurang familiar dengan format APBN kita. Waktu kuliah dulu, untuk memahami seluruh komponen yang ada di APBN, kami butuh kuliah 3 SKS selama satu semester.

Kemudian saya ingat dengan game Simulasi APBN bikinan Kementerian Keuangan. Awalnya saya mengira game ini cukup advanced sehingga mirip dengan Democracy dengan constraints ala Indonesia.

Sayangnya, Simulasi APBN ternyata hanya mengutak-atik belanja negara berdasarkan fungsi saja. Simulasi APBN memaksa kita berasumsi bahwa seluruh uang yang tercantum dalam tiap fungsi tersebut sepenuhnya dibelanjakan untuk kepentingan pelaksanaan fungsi tersebut. Padahal sebenarnya tidak.

Dan yang paling penting, tidak ada konsekuensi yang bisa dilihat pemainnya atas pilihan belanja tertentu. Jika saya banyak mengurangi anggaran untuk perumahan, misalnya, apa yang terjadi? Jika saya menaikkan pajak pertambahan nilai sambil menambah belanja bantuan sosial, apa yang terjadi?

Di Democracy, semakin berpihak Anda pada cause sayap kiri (yang tercermin dalam anggaran, pilihan menteri, dan pilihan kebijakan), orang-orang sayap kanan akan makin tak sabar. Begitu juga sebaliknya. Bahkan kalau Anda membiarkan ini terjadi terlalu lama, Anda bisa terbunuh oleh anggota sayap ekstrem dari oposisi Anda.

Game ini mengajarkan saya bahwa dalam politik, kompromi itu not necessarily bad. Bagaimana pun, Anda adalah pemimpin bagi seluruh warga negara. Jadi ya masuk akal bila Anda dari waktu ke waktu harus melayani kepentingan oposisi, meski frekuensinya tak sesering untuk pemilih Anda.

Tapi ya saya paham. Simulasi APBN toh hanya memberi gambaran kasar tentang bagaimana uang kita dikelola. Uang itu dibelanjakan untuk fungsi apa saja, dan berapa banyak. Tugas Kementerian Keuangan adalah memberikan penjelasan memadai mengenai uang milik publik, bukan bikin game yang bagus.

Cuma tentu akan bagus sekali kalau Kementerian Keuangan bekerjasama dengan developer Democracy. Saya membayangkan biayanya tidak akan terlalu besar, tapi pengalaman pengelolaan APBNnya bakal lebih terasa.

Jadi kalau ada generasi Z mau bicara macam-macam soal APBN, staf humasnya mudah saja tanya, “Sudah main Democracy belum?”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *