Mengapa Ongkos Kirim Barang di Indonesia Mahal Sekali? [Bagian 1/2]

Kalau Anda tidak bekerja di bidang logistik dan transportasi, tentu saja isu ini sesuatu yang sangat asing. Tapi kalau Anda adalah importir/eksportir atau bekerja di lini-lini perdagangan, Anda pasti sepakat bahwa biaya transportasi di tanah air mahal sekali.

Iya, sebenarnya kenapa sih ongkos kirim barang bisa mahal sekali? Setidaknya terdapat empat alasan.

1. Kondisi geografis Indonesia mengharuskan banyak transhipment.

Transhipment adalah pergantian moda transportasi suatu barang untuk sampai ke tempat tujuannya. Misal, dari pabriknya di Cikarang, suatu barang diangkut menggunakan truk ke Tanjung Priok. Di pelabuhan, moda transportasinya berganti menjadi kapal laut. Ketika sampai di pelabuhan tujuan, barang tersebut berpindah moda lagi ke truk kontainer untuk dikirimkan ke pembelinya.

Karena bentuk geografisnya yang berupa kepulauan, tentu saja ada banyak sekali transhipment di sepanjang jalan. Apalagi kalau banyak rintangan seperti ukuran jalan yang terlalu kecil bagi truk kontainer 40 feet, pengangkutan barang melalui sungai, dan sebagainya. Pengiriman barang di Indonesia akan melibatkan berbagai macam sarana transportasi dari yang ukurannya paling besar, sampai paling kecil.

Jadi jelas akan ada uang ekstra untuk berganti moda transportasi tersebut. Minimal untuk beberapa kali handling cost/bongkar muat barang.

Berbeda dengan negara seperti Amerika Serikat, yang kondisi geografisnya lempeng-lempeng saja. Pengiriman barang dari Los Angeles di pantai barat ke New York di pantai timur cukup menggunakan dua moda transportasi saja: kereta api dan truk.

Nah, karena banyak transhipment itulah, komponen biaya logistik Indonesia jadi bermacam-macam. Ada biaya untuk truk, terminal handling cost (dibayar dua kali di pelabuhan asal dan tujuan), biaya pengangkutan via kapal laut, dan sebagainya.

Sedemikian banyaknya komponen biayanya, sebuah studi dari Samudera Indonesia Research Initiative yang pernah saya baca menunjukkan bahwa program tol laut ala Presiden Jokowi hanya menyelesaikan 12% komponen biaya yang muncul selama proses pengangkutan.

Sisanya belum tersentuh.