riba

Murabitun

Saat kami sedang membahas teori dan praktek perbankan syariah di kelas IFQ beberapa waktu lalu, pengajar kelas tersebut, Pak Farouq Alwyni, sempat menyinggung suatu komunitas di Inggris yang ia temui saat ia masih bekerja di Islamic Development Bank dulu. Komunitas ini mengharamkan penggunaan uang kartal (karena dianggap sebagai salah satu akar penyebab riba, inflasi, dan perbudakan oleh bankir internasional), dan oleh sebab itu menghindari lembaga perbankan dan aktivitas-aktivitas bisnisnya secara total.

Kelompok ini menamakan dirinya Murabitun. Hal unik dari komunitas ini sebenarnya tidak hanya terkait penolakannya pada uang kartal, tapi lebih luas dari itu. Para aktivis Murabitun menganggap zakat sebagai rukun Islam yang runtuh karena tak terpenuhinya syarat-syaratnya. Zakat, menurut mereka, harus dihitung dan dipungut dalam “mata uang Islam”, yaitu dinar. Pungutan ini juga tidak bisa dikelola oleh lembaga amil zakat karena membawa konsekuensi (1) zakat bersifat voluntary, dan (2) menyalahi ketentuan dalam al Quran.

Ketentuan apa itu?

Apa Bank Syariah Harus Murah?

Saya beberapa kali bertemu orang yang bilang bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Di antara argumen yang terselip adalah bahwa margin/cost of fund bank syariah sama mahalnya, atau bahkan lebih mahal ketimbang bank konvensional. Dan oleh sebab itu, mereka bilang bahwa margin bank syariah adalah bunga/riba yang diarab-arabkan saja.

Benarkah begitu? Pertanyaan ini bisa dijawab melalui beberapa uraian berikut.

Letak riba adalah pada akad/kontraknya.

Suatu transaksi dinyatakan sebagai riba apabila memenuhi salah satu atau kedua hal berikut. Transaksi tersebut mensyaratkan adanya (1) pengembalian berlebih atas uang yang dipinjamkan/dipertukarkan karena adanya penundaan (riba nasi’ah); atau transaksi tersebut melibatkan (2) pertukaran barang ribawi yang dilakukan tidak dalam takaran yang sama dan tidak dilakukan secara tunai (riba fadhl).

Kalau bicara riba, acuan kita ya hanya ini saja.

Sebelum melanjutkan topik ini lebih jauh, saya ingin mengingatkan bahwa dalam muamalah, kaidahnya adalah “Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, sampai datang dalil atas pengharamannya”.

Hal ini selaras dengan hadits berikut. Kisahnya tentang saran yang Nabi berikan terkait penyerbukan kurma. Karena suatu hal, saran tersebut tak membuahkan hasil sesuai harapan. Ketika ditanya tentang sarannya itu, Nabi menjawab, “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian”.