sertifikat halal

Bukankah Kita Lebih Perlu Sertifikat Non Halal?

Islam adalah agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Oleh karena itu, kita bisa mengasumsikan makanan yang disajikan sebagian besarnya adalah makanan halal. Tentu saja kecuali bagi makanan yang jelas-jelas diolah dengan bahan baku non halal.

Konsekuensinya, kita lebih perlu sertifikat non halal, alih-alih sertifikat halal.

Apalagi kalau kita lihat Saudi, misalnya. Di sana, sertifikat halal terlihat tidak terlalu laku, sementara semua makanan yang beredar di pasar adalah makanan halal.

Selain itu, sertifikat halal dikhawatirkan mendorong konsumen mencurigai produk-produk yang belum bersertifikat halal sebagai makanan non halal. Padahal, yang terjadi adalah pelaku usaha tersebut belum mendaftarkan produknya untuk sertifikasi halal saja.

Kendala berikutnya adalah, sertifikat halal ini justru dikhawatirkan meningkatkan cost secara signifikan bagi pelaku usaha mikro. Akibatnya, pelaku usaha kita dikhawatirkan tidak kompetitif lagi dan kalah bersaing dengan produk-produk impor yang lebih mampu menanggung biaya sertifikasi halal.

Masuk akal, kan? Pernahkah Anda punya pemikiran yang sama?

Mengapa Kita Perlu Sertifikasi Halal?

Jawaban resminya: karena (1) negara menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, dan oleh sebab itu negara perlu memberikan jaminan kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat; dan (2) belum semua produk yang beredar di masyarakat terjamin kehalalannya.

Alasan di atas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Tapi bukankah makanan haram itu jauuuuuuh lebih sedikit ketimbang makanan halal? Bukankah menghindari yang sedikit itu mudah? Lantas kenapa menyusahkan diri dengan sertifikasi halal?

Menghindari yang sedikit memang mudah. Apabila hanya sedikit orang di suatu negara yang menderita cacar atau polio, kita tentu enteng saja keluar rumah tanpa takut tertular kedua penyakit tersebut bahkan tanpa vaksinasi sekalipun.

Analogi di atas relevan diterapkan ketika kita hanya mengkonsumsi bahan alami. Karena yang diharamkan hanya babi, darah, bangkai, dan barang yang bikin mabuk (plus sedikit makanan lain yang disebutkan dalam hadits); maka kita bisa makan ayam, sapi, kerbau, ikan air tawar, hampir seluruh hewan laut, serta ratusan jenis sayuran dan buah-buahan. Sekali lagi, yang haram itu sedikit; dan yang halal itu banyak.

Tapi beda ceritanya kalau yang kita konsumsi adalah produk olahan.

Mari kita ambil contoh produk makanan/minuman olahan. Mari ambil contoh bahan baku yang lebih spesifik: babi. Ketika wujud babi itu masih berupa bahan alami, tentu saja mudah bagi kita menghindari konsumsi hewan tersebut. Tapi ketika ia sudah diolah menjadi komponen pendukung dari bahan kosmetik, pasta gigi, kapsul obat, pelembut kue, micin, hingga vaksin; menghindarinya tidak semudah itu.