Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dalam webinar bertajuk “Indonesia Menuju Pusat Industri Halal Dunia” pada 24 Oktober lalu, menyampaikan komitmen ambisius pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat halal dunia. Indonesia, menurutnya, tidak bisa lagi hanya berperan sebagai pasar dan “tukang stempel” produk belaka. Indonesia harus segera ikut meramaikan pasar produk halal global melalui pengembangan sektor industri produk halal.
Ukuran pasar produk halal sendiri cukup serius. Masterplan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024 menyebut industri ekonomi syariah global difokuskan pada sektor konsumtif dan berdaya saing tinggi. Sektor tersebut antara lain makanan, gaya hidup, pariwisata, dan sektor keuangan. MEKSI mengutip estimasi yang menyebutkan bahwa consumer spending masyarakat muslim untuk makanan dan gaya hidup saja diproyeksikan mencapai USD 3 miliar, atau sekitar Rp 42 triliun, pada tahun 2021.
Oleh sebab itu, pengembangan sektor industri produk halal menjadi salah satu program kerja utama Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah. Harapannya, ketika industri produk halal dalam negeri sudah mapan, Indonesia juga mampu mengembangkan pasarnya ke komunitas halal global.
Visi ini adalah tugas yang luar biasa menantang. Sebagai ilustrasi, saya mulanya mengira kendala dunia ekspor Indonesia adalah birokrasi tata laksana ekspor yang rumit. Saya kira birokrasi adalah bottleneck, sehingga begitu birokrasinya efisien arus ekspor akan mengalir deras.
Anggapan saya ini berdasar pada laporan Logistics Performance Index. Laporan tahun 2018 menempatkan Indonesia di posisi 46 dengan skor 3,15. Ini adalah posisi terbaik Indonesia sejak Bank Dunia pertama kali merilis laporan ini tahun 2007. Dari enam indikator (customs, infrastructure, international shipments, logistics quality, tracking and tracing, dan timeliness), customs dan infrastructure mendapat poin kurang dari 3 dari skala 5.
Dua hal ini tentu saja erat hubungannya dengan pemerintah.
Lantas apakah itu artinya pekerjaan rumah kita tinggal memperbaiki birokrasinya saja? Tentu tidak. Masalahnya ternyata jauh lebih kompleks dari itu.
Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Ekspor Menurut HS melaporkan bahwa nilai ekspor Indonesia antara Januari sampai dengan Agustus 2020 mencapai USD 103 miliar. Dari nilai ini, porsi sektor yang “konsumtif dan berdaya saing tinggi”, yaitu makanan dan gaya hidup, ternyata kecil sekali.
Tidak ada satu pun barang dari Golongan I (Hewan Hidup, Produk Hewani) atau Golongan IV (Olahan Makanan, Minuman, Minuman Keras, Tembakau)—produk yang relevan untuk diuji kehalalannya—yang masuk sepuluh besar produk ekspor. Secara agregat, dua golongan ini hanya menghasilkan ekspor senilai USD 7,5 miliar saja, atau sekitar 7,5% dari nilai total ekspor Indonesia. Apabila ditambahkan dengan produk kosmetik sebagai bagian dari produk gaya hidup pun (kode HS 3304 dan 3307), nilainya masih belum banyak berubah.
Harus diakui, ekspor Indonesia masih didominasi bahan bakar mineral (kode HS 27) dan lemak & minyak nabati (kode HS 15) yang didominasi produk sawit.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan. Mengapa jika dibandingkan dengan produk ekspor yang melalui labirin birokrasi yang sama, produk yang terkait dengan industri halal ini masih kecil kontribusinya?
Maka jawabannya tentu bukan sesederhana masalah birokrasi belaka. Boleh jadi perkaranya juga terletak pada kapasitas produksi industri yang terkait produk halal di Indonesia. Kalau benar ini masalahnya, sekalipun bottleneck itu berhasil dihilangkan, tidak akan ada banyak perubahan terhadap volume maupun nilai ekspor industri-industri tersebut.
Sebagai ilustrasi, mari ambil contoh dari daging sapi sebagai salah satu penyedia protein hewani. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa produksi daging sapi pada 2019 mencapai 497.971 ton. Adapun kebutuhan konsumsi daging sapi dalam negeri pada periode tersebut diperkirakan mencapai 679 ribu ton. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri saja, impor adalah solusi jangka pendek yang tak terhindarkan. Nilai ekspor daging (kode HS 02) Indonesia sampai dengan Agustus 2020 pun hanya senilai USD 9,6 juta.
Dengan kondisi seperti ini, bisakah kita berharap Indonesia dalam waktu singkat akan jadi pusat produksi daging halal dunia?
Situasi produksi daging sapi di Indonesia memang tidak dapat mencerminkan kondisi industri peternakan dan industri Indonesia secara umum. Kabar baiknya, neraca perdagangan Indonesia sampai dengan September 2020 menunjukkan surplus USD 13,5 miliar. Namun perlu diingat bahwa neraca perdagangan tidak merefleksikan kinerja industri halal suatu negara. Melalui contoh di atas, saya ingin menyampaikan adanya masalah kapasitas produksi industri dalam negeri dalam rangka mewujudkan visi Indonesia sebagai pusat halal dunia.
Atas masalah di atas, saya ingin menawarkan beberapa solusi.
Pertama, pemerintah perlu menyusun basis data ekonomi dan keuangan syariah yang terutama berfungsi sebagai bahan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan bedasarkan data yang kredibel dan akurat diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang efektif. Basis data ini juga dapat berfungsi sebagai bahan evaluasi. Setelah kebijakan tertentu diimplementasikan, apakah target outcome-nya tercapai? Apakah kondisi industri halal dan ekonomi syariah secara umum membaik?
Untuk mencapai kondisi tersebut, KNEKS saat ini sedang bekerja menyusun Pusat Data Ekonomi dan Keuangan Syariah. Mari berharap data yang disusun relevan dan akurat sehingga bermanfaat bagi perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.
Kedua, memperluas jangkauan food estate sebagai upaya intensifikasi komoditas terkait produk halal. Salah satu kendala sektor pertanian di Indonesia adalah tingginya biaya produksi. Industri yang dikelola dalam skala kecil tetap akan meningkatkan biaya produksi. Penghitungan biaya benih, biaya pupuk/pakan ternak, biaya transportasi, overhead cost, dan sebagainya tidak akan efisien selama suatu industri tidak dikelola dalam skala ekonomi yang sesuai.
Ketiga, memfokuskan pembangunan infrastruktur dengan perspektif industri. Maksudnya, pemilihan infrastruktur yang akan dibangun hendaknya secara spesifik bertujuan memberi kemudahan pengelolaan logistik, akses ke pasar, hingga meningkatkan proximity ke pelabuhan internasional bagi pelaku usaha. Infrastruktur yang dibangun tepat sasaran akan menurunkan biaya logistik, memudahkan akses pelaku usaha pada sumber daya yang mereka butuhkan, dan pada akhirnya mengefisienkan operasi usaha mereka.
Keempat, meyakinkan seluruh elemen bangsa bahwa industri halal adalah industri yang inklusif. Anda tidak harus menjadi seorang muslim untuk menghindari riba, menjauhi gharar, atau mengkonsumsi makanan halal. Eksportir daging sapi halal terbesar dunia saat ini adalah Brazil, diikuti Australia dan India—negara yang sebagian besar penduduknya bukan muslim. Ekonomi syariah secara umum menawarkan aspek fairness dan kemanusiaan yang dapat diterima juga oleh penganut agama lain.
Untuk itu, pemerintah perlu mengajak tokoh-tokoh agama untuk mempersuasi umatnya agar berpartisipasi aktif dalam industri halal atau ekonomi syariah secara umum. Meski industri halal tidak dimaksudkan untuk sepenuhnya menggantikan industri yang sudah ada, minimal industri halal diperlukan untuk memperluas kesempatan Indonesia untuk terlibat dalam perekonomian dunia.