Teman

Saya punya kebiasaan agak unik akhir-akhir ini: klik fitur memories di Facebook. Saya memang mulai jarang buka Facebook (saya sudah menghapus seluruh aplikasi media sosial dari ponsel saya), dan sekalinya buka ini saja yang biasanya saya lakukan.

Siang ini, Facebook mengingatkan saya pada post seseorang yang saya bagikan lagi delapan tahun lalu. Ini post tentang sejarah kerja dakwah Muhammadiyah beberapa dekade terakhir di Jawa Tengah. Sedikit sekali yang memberi reaksi pada unggahan itu. Dari yang sedikit itu, tercantum nama (sebut saja) Pak Kholis.

Saya jarang sekali menambahkan seseorang dalam pertemanan kecuali saya lihat orang itu lebih pintar atau lebih soleh sehingga saya bisa dapat manfaat dari unggahannya. Saya lupa kenapa persisnya saya menambahkan Pak Kholis sebagai teman, but he ticks all the boxes. Bacaannya luas, sikapnya moderat, tulisannya bernas, dan last but not least, ia seorang Islamis. Saya merasa kami bisa ngobrol lama soal banyak hal kalau kami punya kesempatan untuk ketemu.

Saya klik akunnya sambil bermaksud menyapa beliau di kolom komentar hanya untuk menjumpai bahwa post teratas di akun tersebut adalah sebuah obituari.

Pak Kholis meninggal tepat sepekan yang lalu karena stroke.

Saya tidak mengenal Pak Kholis sehingga tak bermaksud membuat obituari sambungan. Rekan Pak Kholis itu tentu saja menyebut kebaikan dan keakraban beliau. Bahwa Pak Kholis adalah kawan yang setia, penerjemah yang gigih dan andal (beliau menguasai enam bahasa), dan bagaimana ia berubah dari kawan yang asyik menjadi agak kaku karena “hijrah”. Saya membaca beberapa obituari lain yang ditimpali nama beken di Indonesia. Pak Kholis dulu ternyata aktivis mahasiswa.

Hanya saja, tulisan-tulisannya, baik di blog maupun dinding Facebook-nya, memberikan kesan yang berbeda. Suatu hari Pak Kholis pernah menulis tentang teman; yang tidak satupun balas berkunjung ke rumahnya meski ia telah mondar-mandir datang ke kediaman kenalan-kenalannya semasa kuliah. Seingat saya, ia pernah menulis soal keengganannya datang ke acara reuni karena hal-hal tertentu. Ia juga pernah menulis soal pemberian buku dari seorang temannya yang ia duga didasari kepongahan “uang bisa membeli segalanya”.

Pak Kholis adalah penerjemah. Dan seperti beberapa kali beliau sebut di Facebook, ini adalah jalan sepi lagi “kering”. Sementara teman-teman Pak Kholis, sesama aktivis mahasiswa, kebanyakan sudah “jadi orang”; beberapa saya tahu namanya dari masthead media alternatif nasional, seminar soal politik dan hukum termutakhir, atau narasumber beberapa isu terkini.

Beberapa cerita beliau dan relasinya dengan teman-temannya meyakinkan saya pada sikap saya selama ini bahwa berteman itu secukupnya saja. Pilih orang-orang soleh sebagai sahabat, yang takut pada tuhan, yang ringan menolong teman, dan rela berbagi nasihat tanpa sungkan. Selain itu, pertemanan itu tidak perlu dieman-eman sampai segitunya.

Hal lain yang bikin saya terkesan (dan merasa punya kedekatan) pada beliau adalah betapa akrabnya ia dengan anak-anaknya. Tengoklah dinding Facebook-nya, dan Anda akan menjumpai deretan foto Pak Kholis jalan-jalan lintas kota naik sepeda motor dengan anaknya, mampir di masjid, jajan es di pinggir jalan, hujan-hujanan, atau menemani mereka mandi di sungai. Agaknya, dengan segala kemuraman yang beliau ceritakan dengan sinis, masih ada satu bilik dalam hati Pak Kholis di mana beliau bisa temukan kedamaian: keluarga. Ketika main dengan anak-anak dan mengabadikannya lewat ponsel, Pak Kholis beberapa kali terlintas dalam benak saya, dan hampir saja ia membuat saya bersungguh-sungguh bertekad untuk jadi bapak terbaik bagi anak-anak saya.

Tapi Pak Kholis telah tiada, dan hidup harus terus berputar. Saya berusaha mengalihkan bayangan soal kehidupan anak-anak Pak Kholis sebagai yatim, yang dua di antaranya masih kecil-kecil, melalui prasangka bahwa Allah maha pemelihara dan Ia tidak menyia-nyiakan keluarga hambaNya yang shalih, sebagaimana salah satu hikmah kisah perjalanan Nabi Musa dan Khidr.

Saya bersaksi beliau muslim yang baik, meski interaksi kami tidak terlalu intens. Tapi semoga persaksian ini turut Allah hitung sehingga dapat meringankan urusan beliau di alam kubur, melapangkan urusan akhiratnya, dan mengumpulkan Pak Kholis kelak di surga bersama orang-orang yang paling ia cintai di dunia: keluarganya.

Saya juga mengajak kawan-kawan yang kebetulan membaca ini, meski tak kenal siapa Pak Kholis, untuk turut mendoakan kebaikan pada beliau dan keluarga yang beliau tinggalkan.

Sugeng tindak, Pak Kholis.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *