Ten Myths about Israel

Kalau Anda pernah bicara panjang dengan teman yang Zionis (atau simpatisannya), Anda pasti akrab dengan argumen-argumen ini.

  1. Palestina dulunya adalah tanah tak bertuan, dan orang-orang Yahudi (yang merupakan kaum tanpa homeland/kampung halaman) datang untuk memakmurkan tanah tersebut.
  2. Anti-Zionis sama dengan Anti-Semit.
  3. Israel adalah satu-satunya negara demokrasi di dunia Arab.
  4. Israel hanya melakukan agresi untuk mempertahankan diri.
  5. Hamas adalah organisasi teroris.
  6. Orang Palestina, khususnya Hamas, tidak mau diajak berdamai.
  7. Kami sudah memberikan Sinai untuk Mesir, Golan untuk Yordania, sampai Gaza untuk warga Palestina. Berapa banyak lagi yang Anda mau kami serahkan?
  8. Solusi Dua Negara adalah satu-satunya solusi paling realistis dan paling adil dalam konflik Israel-Palestina.

Dan seterusnya.

Begitu terkenalnya argumen-argumen di atas, saya sampai bisa memastikan bahwa Anda pernah membaca atau mendengar hampir semua poin di atas. Masalahnya, menurut Ilan Pappe, argumen-argumen ini terlalu sering diterima begitu saja tanpa tinjauan kritis yang memadai.

Orang-orang bisa begitu saja percaya Hamas adalah organisasi teroris hanya karena AS berpendapat demikian serta menelan begitu saja alasan-alasan yang mereka berikan. Orang bisa cepat sekali memastikan Hamas tidak bisa diajak damai hanya karena mereka menolak Oslo Accord, tanpa memperhatikan alasan keberatan mereka atas perjanjian tersebut.

Orang bisa mudah sekali menerima bahwa Israel adalah satu-satunya demokrasi di dunia Arab hanya karena mereka menyelenggarakan pemilu, punya parlemen, dan mempekerjakan satu hakim etnis Arab (beragama Kristen) di Mahkamah Agung; sambil melupakan begitu banyak undang-undang agraria dan kependudukan yang diskriminatif (kalau tidak bisa dibilang rasis).

Kita seringkali mendengar (terutama dari video tentang wawancara dengan warga Israel yang banyak sekali jumlahnya di Youtube) bahwa orang-orang Arab Palestina tidak mau punya “tetangga” orang Yahudi; sambil melupakan fakta bahwa imigrasi masal orang Yahudi ke Palestina terjadi sejak tahun 1880an, dan tak pernah ada pogrom di Palestina semacam yang mereka alami di Eropa dulu.

Saya berulang kali melihat dan mengikuti berita agresi militer Israel terutama sejak Operation Cast Lead pada akhir 2008. Saya juga baca dan dengar berita tentang perundingan dan resolusi yang diabaikan Israel berkat dukungan politik tak terbatas dari Amerika Serikat. Saya merasa overwhelmed sampai sempat putus asa akan perdamaian di Palestina. Sampai saya rela Kompleks Al Aqsa jatuh sepenuhnya ke tangan Israel asal, dengan Solusi Dua Negara, orang-orang Palestina bisa hidup di negara berdaulat dan bebas dari penindasan berkepanjangan.

Tentu saja ini solusi yang naif; yang berangkat dari kelelahan akibat tak berdaya menyaksikan penderitaan muslim Palestina. Akibat menyadari bahwa berapa pun uang yang saya sumbangkan untuk masjid, sekolah, bahan makanan, atau rumah sakit di sana; ia bisa sekejap berubah jadi debu dan reruntuhan kalau orang-orang Zionis memutuskan demikian.

Kenapa naif?

Karena cita-cita Solusi Dua Negara yang kita bayangkan tidak sama dengan visi Zionisme atas tanah Palestina. Solusi Dua Negara ala Israel, seperti yang diungkapkan Ilan Pappe, menyelipkan syarat-syarat prerequisite yang bertujuan melayani strategi okupasi Israel: menduduki sebanyak mungkin wilayah Palestina dengan sesedikit mungkin orang Palestina. Ada banyak sekali printilan penting dalam perjanjian yang antara mustahil dilaksanakan atau sangat merugikan warga Palestina.

Ini yang terjadi dalam Oslo Accord misalnya. Perjanjian ini memecah wilayah Palestina serupa bantustan. Anda kira Anda bisa jadi suatu negara yang berdaulat kalau Anda tidak punya otoritas penuh terhadap teritori Anda sendiri? Kalau Anda tidak punya sistem pertahanan sendiri? Oh, kalau alasannya adalah self-defense Israel, apakah warga Palestina tidak punya hak untuk mempertahankan diri dengan militer mereka secara mandiri? Dalam sejarah konflik Israel-Palestina, pihak mana yang menderita lebih banyak korban, dan lebih layak untuk membela diri?

Ada cukup banyak requirement lainnya dalam perjanjian ini yang benar-benar menghapus kedaulatan Palestina sebagai sebuah negara. Selain itu, Oslo Accord juga dikenal tidak menyelesaikan tiga permasalahan utama okupasi Israel di Palestina: (1) hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina tahun 1948 ke kampung halamannya (sebagaimana diatur juga dalam Resolusi UNGA 194), (2) pengelolaan Jerusalem, dan (3) tindak lanjut atas permukiman Yahudi di occupied territories.

Jadi cukup aman untuk disimpulkan bahwa wajar terjadi penolakan dari pihak Palestina.

Penolakan dari pihak Israel justru lebih ekstrem lagi. Perdana Menteri Yitzhak Rabin sampai dibunuh oleh Zionis sayap kanan karena perjanjian ini dianggap tidak cukup menunjukkan komitmen dalam mencaplok seluruh wilayah yang jadi “tanah yang dijanjikan” bagi orang Yahudi. Sampai artikel ini ditulis, pelakunya masih hidup di penjara Israel.

Penolakan pihak Palestina terasa lebih wajar lagi mengingat Israel justru memperluas illegal settlement-nya bahkan setelah ditandatanganinya Oslo Accord. Kalau Anda jadi warga Palestina, bagaimana Anda bisa percaya niat baik (kalaupun ada) dari penjajah akan kemerdekaan negeri Anda, ketika makin hari justru makin banyak wilayah yang penjajah itu kuasai?

***

Ten Myths about Israel karya Ilan Pappe adalah buku yang sangat berharga dalam memahami konflik Israel-Palestina secara utuh. Ia menjernihkan banyak asumsi fundamental dalam perdebatan mengenai Israel-Palestina. Ia juga menawarkan harapan baru bahwa dengan pengetahuan akan sejarah yang adil dan tidak bias, kita juga bisa memahami perkara Israel-Palestina dengan lebih jernih.

Saya ingat Andreas Harsono pernah bilang dalam satu seminar, “Indonesia tidak ada/berdiri karena perjuangannya sendiri. Ia ada karena adanya dukungan internasional akan kemerdekaannya.” Kejernihan pandangan yang dimiliki komunitas internasional (termasuk kita) itu semoga bisa menekan Israel untuk menerima solusi yang adil bagi kedua belah pihak.

History lies at the core of every conflict. A true and unbiased understanding of the past offers the possibility of peace. The distortion or manipulation of history, in contrast, will only sow disaster. As the example of the Israel– Palestine conflict shows, historical disinformation, even of the most recent past, can do tremendous harm. This willful misunderstanding of history can promote oppression and protect a regime of colonization and occupation.

Ilan Pappe; Ten Myths about Israel

Ilan Pappe percaya bahwa kemerdekaan Palestina tidak ekuivalen dengan pengusiran orang Yahudi dari rumah yang saat ini mereka tinggali; meski beberapa rumah tersebut diambil secara ilegal dari warga Palestina (Jewish National Fund hanya membeli 13% lahan yang kini merupakan wilayah Israel ketika wilayah Israel mencapai 90% dari wilayah historic Palestine). Pappe, dan banyak akademisi lainnya termasuk Mohammad Natsir dari Indonesia, mengusulkan agar dibentuk suatu pemerintahan demokratis di Palestina, di mana orang Yahudi dan Arab Palestina punya hak yang sama sebagai warga negara.

Tentu saja ini ide yang nyaris mustahil. Pertama, karena kecurigaan masing-masing pihak pada pihak lainnya sudah terlanjur dalam. Perlu upaya serius dalam meluruskan sejarah konflik agar semua orang, termasuk orang Israel dan warga Palestina, bisa melihat konflik ini dari kacamata yang sama. Sayangnya, propaganda Zionis sudah demikian mengakar sampai Ilan Pappe dan Roger Garaudy perlu menulis buku untuk men-debunk klaim-klaim kesejarahan Israel. Itu pun belum begitu berhasil.

Upaya pelurusan sejarah itu bertambah sulit lagi karena alasan kedua yang bernuansa keagamaan: orang Kristen evangelis yang jumlahnya sangat besar di Amerika Serikat sangat meyakini pendudukan Israel atas tanah Palestina sebagai pemenuhan nubuat yang tertulis dalam kitab suci mereka.

Dukungan ini bersambut dengan visi Zionisme yang menghendaki pendudukan sebanyak mungkin wilayah Palestina dengan sesedikit mungkin warga Palestina. Visi ini terutama diyakini betul-betul oleh faksi radikalnya. Ingat pembunuhan PM Yitzhak Rabin di atas kan?

Anda bisa simak pernyataan Naftali Bennett, PM Israel berikutnya, yang sangat menjustifikasi pendudukan Israel dengan dalih keagamaan. Anda bisa langsung lompat ke menit 12:00, atau mengikuti debatnya dari awal.

Video ini sekaligus mengkonfirmasi pendapat Roger Garaudy, bahwa Zionisme berdiri di atas tafsir bernuansa politis dan rasis atas Bibel, khususnya tentang “promised land” dan “chosen people“.

Buku ini (sedikit) menjernihkan masalah sekaligus mengobati kelelahan mental saya dalam mengikuti isu Israel-Palestina. Buku ini menumbuhkan harapan bahwa perdamaian suatu saat akan terwujud di Palestina. Buku ini terutama mengingatkan saya untuk memandang secara obyektif konflik ini. Bahwa hanya karena ini adalah konflik bernuansa keagamaan, tidak semua elemen dari agama itu menerima collective “punishment”.

Atau seperti yang Jeremy Corbyn ungkapkan dengan tepat,

Blaming Judaism for Netanyahu’s policies is like blaming Islam for the actions of the Islamic State.

Jeremy Corbyn

Selamat membaca.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *