Tentang Gerakan Nasional Wakaf Uang

Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) adalah salah satu topik terhangat kita pekan lalu. Sebagaimana yang Anda tahu, sebagian besar sentimennya adalah sebagai berikut:

  1. Pemerintah sedang kesulitan dana sehingga hendak menarik dana wakaf dari masyarakat
  2. Ketimbang ambil uang masyarakat, mending ambil uang koruptor
  3. Aspirasi (politik) umat Islam diinjak, uangnya digasak
  4. dan sebagainya.

Dari berbagai sentimen tersebut, sepertinya kita bisa menyimpulkan bahwa respon negatif itu muncul karena:

  1. Minimnya penjelasan mengenai pengelolaan wakaf uang.
  2. Nihilnya kepercayaan sebagian (besar?) masyarakat terhadap pemerintah.

Mari kita mulai dari yang pertama dulu. Bagaimana wakaf uang dikelola? Benarkah uangnya akan masuk ke pemerintah?

Sejarah wakaf uang di Indonesia sudah berlangsung lama sekali. Bukan baru-baru ini saja kita menyerahkan sejumlah uang yang diniatkan sebagai wakaf. Tapi salah satu milestone pentingnya adalah Fatwa MUI Nomor 29 tentang Wakaf Uang. Fatwa ini diterbitkan tahun 2002 dan ditandatangani oleh Drs. H. Hasanuddin, M.Ag. dan … tentu saja KH Ma’ruf Amin. Yang dimaksud dengan wakaf uang dalam fatwa tersebut adalah wakaf yang ditunaikan dalam bentuk uang tunai.

Milestone berikutnya adalah UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan berbagai peraturan turunannya. Melalui berbagai peraturan tersebut, ringkasnya, bisa kita simpulkan bahwa hukum positif membuka peluang administrasi wakaf uang di Indonesia.

Kemudian pada Januari 2010, Presiden SBY meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (beritanya ada di situs BWI). Inisiatif ini digagas oleh Badan Wakaf Indonesia, lembaga negara yang ditugaskan mengembangkan tata kelola wakaf di Indonesia, sekaligus sebagai salah satu Nazhir wakaf. Niat dan konten GNWU pekan lalu itu sebenarnya sama persis dengan GNWU 10 tahun yang lalu.

Pengelolaan wakaf, baik menurut perspektif fikih maupun hukum positif, mensyaratkan adanya beberapa aktor berikut: Wakif (pemberi harta wakaf), Nazhir (pengelola harta wakaf), dan Mauquf ‘Alaih (penerima manfaat dari harta yang diwakafkan). Kita sudah punya banyak sekali Nazhir; yang terkenal antara lain Badan Wakaf Indonesia, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, ACT, Lazismu, Lazisnu, dan sebagainya. Dalam hal wakaf uang, aktornya bertambah satu yaitu LKS PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang). LKS PWU ini adalah bank syariah atau BPRS yang ditunjuk dan mewakili Nazhir untuk menjadi “kasir” penerimaan dana dari masyarakat. Hubungan antar aktor tersebut bisa dijelaskan melalui ilustrasi berikut.

Skema wakaf uang yang dikelola Badan Wakaf Indonesia

Dari gambar dan penjelasan tersebut, kira-kira kapan dana tersebut masuk ke kas negara?

Iya, betul sekali. Tidak ada sepeser pun uang wakaf tersebut yang by design masuk ke kas negara. Penyerahan harta itu hanya terjadi dari Wakif kepada Nazhir. Nazhir lah yang kemudian bertugas mengelola harta wakaf supaya manfaatnya bisa dirasakan Mauquf Alaih. Dalam hal wakaf uang, Nazhir punya opsi untuk menempatkan uang tersebut dalam instrumen investasi sehingga hanya return-nya yang digunakan untuk kepentingan Mauquf Alaih. Uang pokoknya diinvestasikan lagi.

Pertanyaannya, terus untuk apa tahun 2020 lalu pemerintah dua kali merilis CWLS (Cash Waqf-Linked Sukuk)?

Sepemahaman saya, CWLS adalah respon pemerintah untuk memfasilitasi Nazhir wakaf (setahu saya, yang secara khusus meminta adalah BWI) dalam menginvestasikan wakaf uang yang masuk pada mereka supaya pemanfaatannya lebih tahan lama dan fleksibel. Ini karena investasi pada instrumen keuangan lebih dapat diharapkan lebih sustainable (dari sudut pandang Nazhir). Instrumen keuangan bisa diinvestasikan, secara teori, selamanya. Berbeda dengan aset tetap (kecuali tanah) yang mengalami depresiasi nilai. Selain itu, karena return investasi tersebut berupa uang tunai, uang tersebut bisa digunakan untuk berbagai keperluan.

Salah satu contoh keperluan tersebut adalah pembangunan retina center di RS Mata Achmad Wardi Serang, Banten. Sebagai info, RS ini merupakan wakaf keluarga KH Achmad Wardi yang diserahkan pada BWI sebagai Nazhir. BWI kemudian bermitra dengan Dompet Dhuafa untuk mengelola RS ini. Return CWLS yang diperoleh BWI kemudian digunakan untuk pengadaan alat kesehatan di rumah sakit ini.

Beberapa hari lalu saya dengar dr. Badrus Soleh, Direktur RSAW, bilang kurang lebih, “Anda tak tahu rasanya menyaksikan orang tua yang bisa melihat anak-anaknya bermain kembali; pemuda-pemuda tulang punggung keluarga yang bisa bekerja kembali; orang-orang yang bisa beribadah lagi (dengan sempurna) setelah menerima manfaat dari program-program wakaf ini.”

Return CWLS ini (yang masih tetap ada setidaknya sampai beberapa tahun ke depan) akan digunakan untuk membangun lima (atau tujuh? saya lupa) fasilitas serupa di Indonesia di tahun ini.

Fleksibilitas penggunaan inilah yang membedakan wakaf uang yang digagas BWI itu dengan project-based waqf yang biasa kita saksikan dikerjakan oleh para Nazhir: wakaf al Quran, wakaf sumur, wakaf masjid/mushola, dan sebagainya.

Tapi perlu diingat bahwa meski ada instrumen CWLS yang ada kaitannya dengan pemerintah, Nazhir tetap punya wewenang penuh mengelola dana wakaf yang dipercayakan pada mereka. Bila mereka ingin pengelolaan wakaf yang lebih tahan lama dan lebih fleksibel, instrumennya ya CWLS (selain instrumen keuangan lain seperti mudharabah di bank syariah atau sukuk). CWLS hanya salah satu opsi pengelolaan dana di antara sekian opsi lainnya. Apabila Nazhir tak percaya pada kualitas pengelolaan dana menggunakan CWLS, ya silakan saja.

Oleh sebab itu, di awal saya tulis bahwa tidak ada sepeser pun dari uang tersebut yang “by design” masuk ke kas negara. Pemerintah maupun BWI tidak pernah (dan tidak akan pernah, insya Allah) membatasi pengelolaan dana wakaf untuk “menambal” anggaran negara.

Sumber yang cukup terang mendudukkan masalah ini pada tempatnya saya kira adalah wawancara Ustadz Jeje Zainuddin di Republika (beliau mantan komisioner BWI), dan beberapa unggahan ustadz Muhammad Rifqi Arriza di facebook.

Dari sini, kita masuk ke isu berikutnya: kepercayaan pada pemerintah.

Salah satu pondasi terpenting wakaf adalah adanya trust/kepercayaan. Wakif percaya bahwa sang Nazhir (atau pihak yang berasosiasi padanya) adalah orang-orang yang amanah. Ini yang sepertinya absen dari GNWU tahun ini. Bagaimana mungkin pemerintah yang belum lama ini menjadikan salah satu tokoh prominent umat Islam sebagai musuh negara, secara sistematis menghina salah satu konsep bernegara dalam Islam, dan sudah lama memelihara Islamofobia di negara muslim terbesar di dunia; kemudian mengutus pejabat-pejabat tertingginya untuk mengajak umat Islam untuk menyerahkan uangnya dengan sukarela?

Kalau bukan “orang dalam” saya juga nggak akan percaya hehe.

Saya pribadi menganggap masalah terbesarnya adalah menjadikan Presiden sebagai tokoh sentral gerakan ini. Niat gerakan ini sebenarnya mulia (kok tau? sekali lagi, saya “orang dalam”). Eksekusinya pun diarahkan pada mekanisme yang benar-benar aman. Dan seandainya tokoh sentral peluncuran tersebut misalnya adalah perwakilan Forum Wakaf Produktif seperti BWI, Dompet Dhuafa, Lazismu, Lazisnu, dan sebagainya yang diikuti dengan “pameran” pengelolaan wakaf oleh masing-masing Nazhir tersebut, mungkin ceritanya akan berbeda.

Terlepas dari kedua hal tersebut, saya kira ada hal terakhir yang perlu jadi perhatian: pengelolaan wakaf uang melalui instrumen keuangan.

Ini kritik yang setahu saya pertama kali datang dari Farid Gaban lewat akun facebooknya. Dia khawatir dana wakaf justru lebih dekat pada penghisapan uang beredar dari sektor riil ke sektor keuangan. Akibatnya, uang-uang tersebut sebagian besar berputar di pemerintah atau korporasi besar yang menerbitkan sukuk saja. Aliran uangnya ke UMKM dikhawatirkan justru semakin kecil.

Dan dia benar sekali.

Berbagai buku teks keuangan syariah sebenarnya menyebut kedekatan keuangan syariah dengan pengembangan sektor riil sebagai salah satu keunggulan keuangan syariah. Berdasarkan prinsip tawazun dalam pilar ekonomi syariah, suatu lembaga keuangan Islam (atau bahkan seluruh komponen sistem ekonominya) perlu menjalankan bisnisnya secara seimbang: pembangunan material dan spiritual, risk and return yang seimbang, perspektif bisnis dan perspektif sosial, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam, serta pengembangan sektor keuangan dan sektor riil. Mengingat instrumen investasi wakaf uang di Indonesia sampai saat ini terbatas pada instrumen keuangan saja (deposito mudharabah di bank syariah atau sukuk), tentu model ini sebenarnya kurang sesuai dengan semangat tawazun di atas.

Berikut kutipan dari buku Perbankan Syariah di Indonesia yang ditulis oleh para peneliti Bank Indonesia:

Dalam ekonomi konvensional, […] menyebabkan konsentrasi uang di sektor moneter untuk mencari return yang lebih tinggi. Akibatnya, uang atau investasi yang seharusnya disalurkan ke sektor riil untuk tujuan produktif sebagian (besar) mengalir ke sektor keuangan sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.

Perbankan Syariah di Indonesia, h. 50

Berbeda dengan sektor keuangan, perputaran uang di sektor riil biasanya punya efek pengganda yang lebih banyak. Uang yang beredar di sektor riil bisa ikut mendorong daya beli, meningkatkan kapasitas produksi, memperluas lapangan pekerjaan, dan akhirnya bisa membantu mengurangi inequality. Ketika akses ke pasar keuangan terbatas pada orang-orang yang relatif sudah cukup kaya, akses ke sektor riil bisa bermanfaat ke lebih banyak masyarakat. Badan Pusat Statistik sendiri menyebut bahwa jumlah usaha mikro dan kecil di Indonesia mencapai 26,26 juta unit. Tentu saja pihak yang terlibat di sektor keuangan jauh lebih kecil dari ini.

Oleh sebab itu, Ketua BWI sendiri pun, Pak Muhammad Nuh, menyebut bahwa keterbatasan instrumen investasi pada wakaf uang itu hanya sementara. Nanti ketika situasi ekonomi mulai membaik, para Nazhir akan didorong untuk menginvestasikan dana wakaf tersebut pada aset/usaha produktif (tentu saja dengan sepengetahuan Wakif).

Tapi sampai masa itu datang, sementara baru ini yang kita punya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *