The Founding Myths of Modern Israel

Anda pasti pernah menanyakan hal serupa. Kenapa orang-orang Yahudi tidak minta pertanggungjawaban Jerman saja (yang sepuluh tahun bikin hidup mereka sengsara)? Atau Inggris (yang pernah bikin perjanjian khusus dengan tokoh Zionis)? Atau Amerika Serikat (yang tujuh puluh tahun rela memberikan dukungan finansial dan politik secara cuma-cuma)?

Iya, kenapa bukan Amerika?

Amerika Serikat adalah salah satu negara yang underpopulated. Meski jumlah penduduknya sudah lebih dari tiga ratusan juta, luas daratannya mencapai 9,8 juta km2. Artinya, kepadatan penduduknya hanya sekitar 34 orang per km2. Sebagai pembanding, kepadatan penduduk Indonesia mencapai 134 orang per km2.

Amerika juga negara dengan ekonomi terbesar dunia. Mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak juga bukan masalah bagi orang-orang Yahudi yang dikenal pintar. Selain itu, sudah puluhan miliar dolar bantuan luar negeri AS kepada Israel dikucurkan sejak 1948. Ini belum termasuk yang bentuknya pinjaman (sangat lunak), bantuan militer, dan transfer teknologi. Jelas tidak ada bandingannya dengan Marshall Plan yang bentuknya pinjaman senilai “hanya” USD 15 miliar untuk seluruh Eropa.

Ditambah lagi, AS punya komunitas Yahudi yang sangat besar dan komunitas Kristen yang sangat simpatik pada Israel. Mereka bisa hidup dengan nyaman, tenang, rukun, dan damai di sana.

Maka membawa sekitar 10 juta warga Israel ke wilayah AS tentu saja bukan masalah demografi dan ekonomi yang serius-serius amat. Bisa jadi berkah malah.

Masalahnya, pilihan para Zionis untuk menduduki Palestina memang sama sekali bukan karena pertimbangan demografis atau ekonomis (ya tentu saja ada alasan kenapa mereka menyebut diri Zionis kan).

Ulasan terkait motif pendudukan Palestina ini membuka buku The Founding Myths of Modern Israel karya Roger Garaudy.

Garaudy berpendapat, mengutip Rabbi Isaac Meyer Wise, tafsir bernuansa kesukuan dan politis atas Bibel lah yang menjadi sebabnya.

Orang-orang Zionis menganggap tanah Syam, menurut iman mereka, adalah tanah yang diwariskan kepada para patriarch: Abraham, Ishak, Yakub. Karena bangsa Yahudi mengaku sebagai keturunan Yakub, tentu saja mereka menganggap tanah itu terwariskan kepada mereka.

Tak sekedar diwariskan, beberapa bagian dari Bibel juga menyiratkan dorongan bagi pembacanya untuk kembali ke tanah Palestina. Untuk mewujudkan nubuat ini (yang di beberapa tempat bernuansa apokaliptik), orang-orang Yahudi berupaya datang kembali ke “tanah air” mereka. Orang-orang yang meyakini ideologi ini disebut Zionis. Kata “Zion” sendiri merujuk pada suatu tempat di Yerusalem.

Oleh sebab itu, kita bisa bilang bahwa alasan utama orang Yahudi memaksa tinggal dan mendirikan negara sendiri di Palestina adalah alasan keagamaan; atau setidaknya motivasi politik yang menunggani doktrin keagamaan.

Saya tak ingin berpanjang-panjang menulis bagaimana Garaudy men-debunk tafsir ini. Ia mengutip berbagai pemuka agama, tokoh, dan organisasi Yahudi yang berpengaruh mengenai cacatnya klaim tersebut bahkan dipandang dari sudut pandang agama Yahudi sendiri. Anda bisa baca sendiri rincinya di buku itu.

Yang perlu dicatat adalah bahwa Zionisme bukan ide/keyakinan keagamaan universal orang Yahudi. World Zionist Congress pertama tidak diselenggarakan di Munich, tetapi di Basel, karena mendapat oposisi yang kuat dari komunitas Yahudi di sana. Di tahun yang sama, gerakan ini juga mendapat kecaman dari Rabbi Isaac Meyer Wise, tokoh Yahudi paling berpengaruh di Amerika saat itu.

Bahkan hingga kini, beberapa kalangan dari umat Yahudi (khususnya Yahudi Ortodoks yang dipandang lebih religius) terang-terangan menetang berdirinya negara Israel. Alasannya antara lain soal perbedaan tafsir keagamaan. Kapan-kapan saya tulis tentang ini insya Allah.

Gambar dari BBC.com

Yang bisa kita petik dari penjelasan di atas adalah bahwa perlawanan kita kepada Zionisme adalah perlawanan atas ekstremisme Yahudi (bukan agamanya secara umum, apalagi rasnya); selain juga perlawanan terhadap kolonialisme, rasisme, dan penjajahan.

Oke, kita sudah dapat the big why untuk internal orang-orang Yahudi. Masalahnya, klaim keagamaan seperti “promised land” atau “chosen people” ini tidak akan laku dijual ke pihak eksternal. Bayangkan saja dialog ini terjadi.

"Halo, kami orang Yahudi, kalian para goyim silakan enyah dari sini."
Lho kan kami sudah tinggal lebih dulu di sini.
"Ya terserah, pokoknya sekarang kami yang mendirikan negara di sini."
Kenapa begitu?
"Ada di kitab suci kami."
Terus gimana dengan nasib kami?
"Ya terserah, mau minggat, mau mati, terserah kalian."
Ini tanah leluhur kami; kami lahir dan besar di sini. Bagaimana kalau kami menolak?
"Maka kami akan menggunakan kekuatan militer dengan dukungan negara adidaya untuk mengusir kalian."
Kok kalian tega melakukan hal ini?
"Kami nggak peduli, pokoknya cuma kami yang dipilih oleh Tuhan yang ada di kitab suci kami untuk tinggal di sini."

Apa mungkin alasan seperti ini dapat dukungan luas dari banyak negara? Untuk mendapat dukungan mutlak dari dunia internasional, mereka perlu pretext yang lebih meyakinkan. Di sinilah Garaudy “bermain api”.

Garaudy menghabiskan hampir sepertiga buku untuk membahas tema paling sensitif di Eropa abad ini: Holocaust. Ia tidak menyangkal kekejaman Nazi kepada orang-orang Yahudi. Ia tidak menyangkal kematian puluhan juta orang akibat agresi Nazi. Tapi ia mengkritik keras penggunaan Holocaust (dengan cara melebih-lebihkan efeknya khususnya terhadap orang Yahudi) untuk melanggengkan penjajahan Israel atas warga Palestina.

Garaudy menyangkal ada perintah tertulis dari pimpinan Nazi, terutama Hitler, untuk memusnahkan seluruh orang Yahudi di Eropa. Yang diinstruksikan pimpinan Nazi, katanya, adalah emigrasi besar-besaran warga Yahudi Eropa ke tempat lain. Tempat lain tersebut awalnya adalah Madagaskar. Tapi begitu front timur terbuka bagi Jerman, pemerintah Nazi menganggap ada alternatif lain yang lebih praktis (karena tidak perlu banyak kapal untuk mengangkut emigran) dan efektif (karena mendapat dukungan dari para Zionis) dengan memindahkan mereka ke Palestina.

Oh iya, Anda tidak salah baca. Ide memindahkan warga Yahudi dari Eropa itu mendapat dukungan dari kelompok Zionis Eropa saat itu. Ini seperti win-win solution. Nazi menyelesaikan Jewish question dengan mengusir orang Yahudi dari Eropa; Zionis diuntungkan dengan terfasilitasinya agenda politik mereka. Buku ini bahkan merekam privilege yang diterima petinggi-petinggi Zionis dari pemerintah Nazi Jerman sebelum tahun 1938.

Namun belum sempat rencana itu tuntas dilaksanakan, di tahun 1942, Jerman menderita banyak kerugian baik jumlah tentara, persenjataan, maupun logistik. Mereka perlu banyak orang untuk jadi tentara dan buruh pabrik untuk mendukung logistik peperangan.

Oleh sebab itu, masuk akal apabila orang-orang Yahudi tersebut dimanfaatkan untuk jadi pekerja, seperti yang kita lihat di film Schlinder’s List. Kalau mereka bisa produktif, kenapa harus dibunuh (yang perlu biaya dan tenaga ekstra); sementara Jerman sangat perlu pada sumber daya apa pun yang mereka punya?

Untuk memperjelas, yang dimaksud kerja paksa di sini adalah kerja tanpa bayaran, jam kerja panjang, dan tanpa kondisi minimal untuk mempertahankan hidup. Banyak yang tewas selama proses ini.

Terus ada apa dengan kerja paksa? Bukankah ia sama kejamnya dengan pembunuhan yang terus terang?

Tentu saja kejam. Tidak ada yang menyangkal kekejaman Nazi selama Perang Dunia II. Tapi bayangkan Anda berada di posisi propagandis Israel. Apakah berdirinya negara Israel di atas tanah bangsa lain dijustifikasi “hanya” dengan alasan kerja paksa Yahudi oleh pemerintah Jerman?

Kalau “cuma” kerja paksa, leluhur kita di Indonesia, budak Afrika yang dikirim ke Amerika, dan secara praktis seluruh warga negara jajahan juga merasakan itu. Tidak ada bedanya dengan yang dialami orang Yahudi. Tidak terhitung korban yang jatuh hanya dari satu proyek Jalan Raya Daendels itu, misalnya.

Kalau “cuma” kerja paksa, apakah hal itu kemudian menjustifikasi kita menganeksasi Singapura dan Malaysia dengan alasan “dulu nenek moyang kami dari Majapahit dan Sriwijaya pernah berkuasa di sini, maka kami ahli warisnya akan mengklaim kembali”?

Tentu tidak. Kerja paksa adalah hal lazim dalam kolonialisme. Kerja paksa yang dialami orang Yahudi juga dialami oleh warga wilayah jajahan lainnya. Bahkan di masa pemerintahan Nazi, bukan hanya orang Yahudi yang jadi korban. Orang-orang Polandia, Slavik, Gipsi, homoseks, dan minoritas lainnya juga disingkirkan atas nama superioritas bangsa Arya.

Tapi cerita genosida melalui pembunuhan enam juta orang di kamar gas is on another level of cruelty. Sedikit negara jajahan menerima perlakuan keji ini. Ia bisa efektif digunakan untuk menjaring simpati internasional pada tujuan politik Zionisme. Cerita rasisme yang mengakibatkan jumlah korban besar yang dibunuh dengan cara kejam bukan cerita main-main.

Tidak cukup dengan tinggal “menumpang” dan menjadi warga negara Palestina, misalnya. Mereka harus punya pemerintahan yang otonom untuk menjamin tidak ada lagi Holocaust berikutnya.

Di sisi lain, penahbisan Holocaust sebagai kejahatan kemanusiaan terbesar juga mengaburkan kejahatan perang yang dilakukan pasukan Sekutu pada Hiroshima, Nagasaki, dan Dresden; misalnya, di mana mereka membunuh ratusan ribu warga sipil dalam sekejap. Terbukti, meski pengeboman itu nyata-nyata tidak hanya menyasar target militer, peristiwa ini justru dikenang sebagai kemenangan perang, bukan kejahatan kemanusiaan, termasuk oleh anak-anak sekolah.

Jadi, Holocaust bagi Garaudy adalah win-win solution. Israel bisa memanfaatkannya sebagai justifikasi pendirian negaranya; sementara negara-negara Sekutu bisa bebas dari tanggung jawab atas kekejaman yang juga mereka lakukan selama masa perang.

Tapi dengan ongkos yang harus ditanggung orang Palestina.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *